Intisari-Online.com -Karena mendapat sebutan 'extremist" dari penguasa Belanda, maka saya dijebloskan ke tempat tahanan yang letaknya di tangsi Batalyon KNIL di Jalan Matoanging Makassar. Di ujung gedung bagian depan terdapat sebuah kamar khusus yang cukup besar, ukuran kira-kira 6x6 meter. Jendelanya yang besar diberi jeruji besi. Pintunya dari jeruji saja. Di "kamar mati" ini ternyata saya bertemu dengan Robert Wallter Monginsidi!Ketika itu ia sudah divonis mati.Mula-mula kami berdelapan. Lima orang dari Palopo, pemimpin-pemimpin perlawanan di Luwuk, yaitu Yusuf Arief cs yang telah mendapat vonis hukuman mati. Seorang Laksamana Jepang yang namanya saya lupa, tetapi ia orang yang pertama-tama menaklukkan daerah Indonesia Timur. Dia pun sudah divonis mati.Ketika itu perkara saya masih dalam proses dan diperkirakan akan mendapat vonis yang sama pula.Sesuai dengan perkembangan masa, kawan-kawan dari Palopo hukumannya diubah menjadi seumur hidup lalu dipindahkan ke penjara Cipinang di Jakarta. Laksamana Jepang yang penuh semangat itu pada suatu pagi buta dibawa pergi untuk tidak kembali. Malam sebelumnya ia diberi kesempatan mengadakan 'pesta' perpisahan dengan sesama tahanan, dengan makanan yang dipesan dari restoran. Kesempatan ini diberikan bagi semua yang akan menjalani hukuman mati.Akhirnya di "kamar mati" hanya tinggal Monginsidi dengan saya. Yang saya herankan dan kagumi ialah bahwa sekalipun sudah mendapat vonis mati, Monginsidi masih giat membaca buku-buku sejarah dan pelajaran bahasa yang boleh dipinjam. Ia bangun pagi dan setiap pagi serta sebelum tidur membaca Injil, sedangkan saya setiap hari menjalankan ibadah saya sebagai orang Islam.Pada suatu pagi ketika sedang membaca-baca buku pelajaran bahasa Jerman, datanglah dua pejabat Belanda yakni Overste Komandan Territoriale Troepen di Makassar dan seorang Majoor Titulair 'inlander' dari Raad van Justitie (pengadilan). Dengan wajah cerah Majoor menyapa kami dan berkata kepada Monginsidi dalam bahasa Belanda bahwa ia punya kabar baik. Monginsidi dapat diperingan hukuinannya kalau mengajukan permohonan grasi. "Selanjutnya nanti kami atur", katanya.Tetapi tidak dikira tidak dinyana, Monginsidi berkacak pinggang dan berkata: "Minta grasi? Minta grasi berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman!"Dua pejabat itu tertegun dan hampir serentak berkata, "Dat is pas een man." (Ini baru benar-benar seorang jantan). Mereka pergi dan Monginsidi kembali membaca seakan-akan tidak terjadi apa-apa.Bahwa kemudian ada usaha-usaha untuk memintakan grasi bagi Walter Monginsidi terang bukan atas kehendak Monginsidi sendiri. Orangtua Walter bahkan kemudian didatangkan dalam usaha untuk memintakan grasi ini.Karena pengaruh suasana politik, saya cuma divonis 12 tahun penjara dan dipindahkan ke penjara Karebosi. Situasi politik mulai berubah dan kami berpisah dengan penuh optimisme, karena pasti ada pengaruhnya terhadap hukuman-hukuman yang sudah dijatuhkan Belanda."Salam pada teman-teman. Saya setia sampai mati", kata Walter. Setelah Persetujuan Roem-van Royen maka kami dibebaskan, mulai dari yang hukumannya ringan sampai seumur hidup. Tetapi seperti mendengar halilintar di siang bolong, kami mendengar Robert Walter Monginsidi dihukum mati!Tanggal 29 Desember 1949, kami ziarah ke makamnya dan di sana saya sampaikan pesan almarhum kepada teman-teman. Setia sampai saat terakhir jadi kenyataan.Tulisan ini ditulis oleh Drs. Yusuf Bauti di Intisari edisi Maret 1975 dengan judul asli "Bersama W. Monginsidi Sesaat Sebelum Dihukum Mati".