Intisari-Online.com -Sehari sebelum hari pernikahan, calon pengantin laki-laki Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro menjalani prosesi ”nyantri” di Gedong Sri Katon, Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta, Senin (21/10/2013).
Jika dahulu prosesi ini dijalani selama 40 hari, sekarang di zaman modern, nyantri hanya ditampilkan secara simbolis, satu hari sebelum pengantin pria mengucapkan ijab kabul di Masjid Panepen, Keraton Yogyakarta.
Pukul 09.30, calon mempelai laki-laki Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro dijemput perwakilan Keraton Yogyakarta dari Ndalem Mangkubumen menggunakan tiga kereta kencana dan diiringi pasukan berkuda yang menaiki 26 kuda dari Detasemen Kavaleri Berkuda Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD. Kerabat keraton penjemput calon mempelai laki-laki adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Yudha Hadiningrat dan KRT Jatiningrat.
Kedua perwakilan Keraton Yogyakarta menaiki kereta Kanjeng Kyai Kutha Raharja. Sementara dua kereta kencana lain, yaitu Kanjeng Kyai Kusgading, digunakan untuk menjemput calon mempelai laki-laki, dan Kyai Puspaka Manik untuk menjemput orangtua calon mempelai pria.
Jarak penjempuatan dari Ndalem Mangkubumen (yang sekarang menjadi Universitas Widya Mataram) dengan Keraton Yogyakarta hanya sekitar 1,5 kilometer. Saat arak-arakan, rusa jalan menuju Bangsal Magangan, Jalan Ngasem, sampai Univesitas Widya Mataram ditutup sementara.
Tepat pukul 09.45, arak-arakan pasukan berkuda dan tiga kereta kencana tiba di Regol Magangan, Keraton Yogyakarta. Rombongan disambut para kerabat keraton di Regol Magangan dan selanjutnya diantar menuju ke Bangsal Kasatriyan.
”Ini adalah awal dari prosesi pernikahan untuk mengenalkan calon menantu kepada pihak Keraton Yogyakarta. Dalam prosesi nyantri, calon mempelai pria akan diajari bagaimana hidup sebagai anggota Keraton Yogyakarta. Berbagai macam adat istiadat keraton akan diajarkan, mulai dari bahasa Jawa, laku ndhodhok (berjalan dengan lutut), hingga macam-macam tata krama lainnya,” kata KRT Yudha Hadiningrat, Senin (21/10), di Keraton Yogyakarta.
Dahulu, pepatih dalem atau wakil dari Sri Sultan yang memberikan pelajaran dalam prosesi nyantri. Akan tetapi, setelah posisi pepatih dalem ditiadakan sejak zaman Patih Danureja, pemberi pelajaran nyantri digantikan sesepuh keraton yang dipilih secara khusus oleh Sultan.
Di Bangsal Kasatriyan, para sesepuh keraton dan pangeran menemani calon mempelai pria hingga keesokan harinya pada prosesi ijab kabul. Sementara itu, dalam waktu bersamaan, calon mempelai wanita berada di Bangsal Sekar Kedhaton untuk menjalani prosesi siraman.Prosesi siraman
Prosesi siraman dilakukan dengan menyiram calon mempelai wanita menggunakan air dari tujuh mata air yang dicampur dengan kembang setaman. Adapun calon mempelai wanita dibalut dengan kemben berhias untaian bunga melati. Prosesi ini dipimpin seorang Nyai Panghulu sebagai pendoa. (Aloysius Budi Kurniawan)
Setelah disiram air kembang setaman dari tujuh mata air, calon mempelai wanita melakukan wudhu dari sebuah kendi yang kemudian dipecah. Ritual memecahkan kendi ini sebagaisimbol pecahnya pamor atau munculnya pesona kecantikan dari calon mempelai wanita sehingga saat pernikahan akan terlihat manglingi atau membuat semua orang seperti tidak kenal karena kecantikannya yang luar biasa.
Sama seperti calon mempelai wanita, calon mempelai pria juga menjalani prosesi siraman menggunakan air kembang setaman sisa dari siraman calon mempelai wanita. Akan tetapi, prosesi siraman calon mempelai pria berlangsung di Bangsal Kasatriyan.
Selama prosesi nyantri dan siraman, para utusan dari lima kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan persembahan hasil bumi kepada Sultan. Hasil bumi berupa pisang raja, padi, dan kelapa dimanfaatkan untuk prosesi pemasangan tarub dan bleketepe sebagai perlengkapan upacara pernikahan. (kompas.com)