Intisari-Online.com - Perdamaian sering kali hanya sebuah slogan dan lagu, nyaris seperti utopia. Sementara perang dalam bentuk apa pun adalah keniscayaan, karena di situ banyak kepentingan dan bisnis yang bisa dijalankan.Begitu juga bagi Ibu Brani. Perdamaian tak ubahnya petaka kebangkrutan. Sebaliknya, perang adalah panen yang bisa mendatangkan banyak uang, tak peduli jika anak-anaknya yang menjadi korban.Pesan itu muncul dari pertunjukan sandiwara "Ibu" yang dipentaskan Teater Koma di Taman Ismail Marzuki (TIM) dari tanggal 1 sampai 17 November 2013.Cerita ini disadur dari karya sastrawan Jerman, Bertolt Brecht, berjudul "Mother Courage and Her Children" atau dalam bahasa Jerman "Mutter Courage und ihre Kinder".Mengambil setting perang 30 tahun di Eropa pada abad ke-17, Ibu Brani yang diperankan Sari Prianggoro Madjid mencoba terus memanfaatkan perang dengan bisnisnya. Bersama tiga anaknya, Elip Noyoki (Rangga Riantiarno), Keju Swiss atau Fejos (Muhammad Bagya), dan Katrin Hupla (Ina Kaka), mereka menyusuri wilayah-wilayah perang dengan gerobaknya sambil menawarkan dagangannya dari anggur, barang bekas, selongsong peluru, hingga makanan.Bagi Ibu Brani, perang selalu mendatangkan uang. Sehingga, ketika ada kabar akan ada perdamaian, dia terpukul berat dan merasa di ambang kebangkrutan. Sehingga, hatinya selalu berbunga-bunga setiap ada perang. Sampai-sampai, ia lupa pernah berjanji akan mencarikan jodoh buat Katrin jika perdamaian datang.Singkat cerita kedua anaknya, Fejos dan Elip, direkrut tentara. Fejos akhirnya mati ditembak tentara musuh dan Elip tak jelas nasibnya setelah ditangkap tentara lawan. Sementara Katrin yang bisu, akhirnya juga tewas ditembak tentara.Ibu Brani akhirnya merasakan betapa biadabnya akibat perang itu. Seolah, keuntungan yang ia raih dari peperangan tak ada artinya. Nafsunya terhadap uang harus dibayar mahal.Seperti kata sang pengarang sendiri, Brecht, "Dalam perang yang kalah dan menang hanya akan menerima kerugian. Semua kalah. Kelak, hanya urusan ekonomi dan politik yang menerima keuntungan. Kebudayaan jadi tak penting, bahkan dihapuskan."Indonesia 2014Lakon ini begitu menyentuh dan terasa kontekstual. Apalagi, lakon ini didukung acting yang hebat dari Sari Madjid sebagai ibu dan pemeran lainnya.Kecerdasan N Riantiarno dalam membangun cerita dan suasana lewat dialog, gerak, properti, dan perubahan adegan juga mengesankan. Kerapian menyelipkan lelucon yang mengundang tawa juga cerdik, tanpa harus melawak sudah menimbulkan gelak. Pada akhirnya, banyak satire kehidupan yang harus direnungkan.Riantiarno sengaja mementaskan "Ibu" salah satunya karena konteks Indonesia yang bakal berperang pada 2014. Pemilu 2014, baginya, tak ubahnya perang merebut kekuasaan. Kekuasaan atas harta benda, politik, ekonomi, dan sumber daya alam dan manusia. Kekuasaan yang belum tentu menyejahterakan rakyat.Siapakah Ibu IndonesiaIbu adalah orang yang melahirkan, merawat, mendidik, mengasuh, melindungi, dan membesarkan anaknya. Peran dan pengaruhnya akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak-anaknya.Lalu, Riantiarno pun melemparkan pertanyan besar pada negeri ini, "Siapakah ibu Indonesia saat ini?" Adakah ibu kita adalah sosok kapitalistis yang suka mengobarkan perang demi keuntungan, tak peduli harus mengorbankan rakyat dan kebudayaannya?Sebelum pementasan, Rabu (13/11/2013), ia mengatakan, "Tontonan" yang paling menarik di Indonesia saat ini adalah korupsi. Dan, korupsi rasanya semakin menggila dan menyusup ke berbagai lini.Menjamurnya korupsi tentu hasil salah asuh, salah didik, salah rawat, dan salah bina. Jika Perang 2014 yang disebut Pemilu itu masih dalam kerangka salah asuh, artinya tak ubahnya sekadar peperangan yang mengejar kekuasaan dan keuntungan ekonomi.Wajah negeri yang selama ini dituduh kapitalistik atau neoliberal, mungkin tak akan berubah. Peperangan yang akan berkobar hanya akan menghasilkan kekalahan demi kekalahan semua pihak. Pada akhirnya hanya cecunguk-cecunguk rakus yang menguasai sendi-sendi ekonomi dan sumber daya alam dan manusia. Sementara, korupsi masih menjadi tontonan utama yang menggelikan, sekaligus mengerikan.Ah, mungkin selama ini kita hanya memiliki ibu tiri yang mementingkan diri sendiri sambil berselingkuh dengan luar negeri, tak peduli rakyatnya susah setengah mati. (Hery Prasetyo)