Quo Vadis Afrika Selatan, Setelah Mandela Tiada?

hery prasetyo

Editor

Quo Vadis Afrika Selatan, Setelah Mandela Tiada?
Quo Vadis Afrika Selatan, Setelah Mandela Tiada?

Intisari-Online.com - "Get well soon, we still need you", demikian bunyi sebuah poster. Poster itu tampak mencolok di antara ratusan karangan bunga sebagai tanda dukungan dan doa kepada Nelson Mandela yang memenuhi pagar rumah sakit tempat Mandela dirawat beberapa waktu lalu.Kalimat itu ekspresi seluruh rakyat Afrika Selatan, juga dunia. Sebab, Mandela masih menjadi simbol terbesar dan pemersatu negeri yang sempat terpolarisasi menjadi tiga kasta (berkulit putih, berwarna, dan hitam) itu.Namun, sang pahlawan itu kini telah tiada. Mandela telah mengembuskan napas terakhirnya pada 5 Desember 2013. Lalu, akankah Afsel tanpa pegangan dan bakal kehilangan kendali?Semasa pemerintahan Apartheid, pembedaan ras ini memang menimbulkan banyak luka. Kulit putih yang berkuasa memiliki prevelis paling tinggi, baru kulit berwarna (campuran), dan terendah adalah kulit hitam.Perjuangan Mandela melawan Apartheid akhirnya berhasil, meski ia harus mendekam di tahanan selama 27 tahun. Pada 1994, ia menjadi presiden kulit hitam pertama lewat mekanisme demokratis.Seperti kata tokoh agama Desmond Tutu, dunia sempat khawatir akan ada banjir darah setelah Apartheid runtuh dan kulit hitam berkuasa. Dikhawatirkan akan ada dendam, mengingat luka kulit hitam begitu dalam semasa Aparheid.Namun, Mandela mematahkan kekhawatiran itu. Mandela yang sebelum ditahan pada 1962 adalah lelaki keras dan pemarah, ternyata setelah bebas menjadi begitu santun, bijak, dan menunjukkan kepribadian luar biasa. Ia terus bicara indahnya memaafkan dan rekonsilisasi."Di dunia ini, Anda akan meraih jauh lebih banyak jika beraksi dengan kemurahan hati daripada dengan energi dendam," kata Mandela."Tak akan ada kemenangan bersama dendam," demikian kata-kata bijak lainnya.Dia memanfaatkan segala wahana untuk mewujudkan pemaafan dan rekonsiliasi nasional. Ia juga mengajak rakyat Afsel bersatu mendukung tim rugby Srpingbok di Piala Dunia Rugby pada 1995. Event ini ia jadikan sarana mewujudkan persatuan. "Togetherness in diversity".Ia sukses. Begitu juga ketika ia memanfaatkan Piala Afrika 1996 sebagai sarana menyatukan bangsa.Mandela pun kemudian tampil seperti dewa bagi kulit hitam, kulit berwarna, dan kulit putih. Sebab, ia sukses membawa Afsel bertransformasi ke dalam kehidupan demokrasi dengan platform persamaan dalam perbedaan, tanpa ada darah yang menetes. Semua bisa hidup dalam kebebasan dan persamaan, penuh pemaafan, dan tanpa ada dendam.Kecemburuan BaruSetelah Mandela turun dari jabatan presiden pada 1999, Afsel tetap tenang bahkan terus bergerak maju. Mandela tetaplah simbol nasional yang dicintai semua kalangan dan dihormati.Namun, mulai muncul sentimen. Kulit hitam dianggap terlalu dominan dalam pemerintahan dan korupsi mulai jadi isu besar. Sementara kulit putih dominan dalam perekonomian. Sedangkan kulit berwarna merasa tersingkir. Sebagian kulit putih juga mulai kehilangan pegangan dan mulai banyak yang menjadi gelandangan.Lalu, sentimen pun makin sering terdengar. Ketika penulis berada di Afsel selama 40 hari pada 2010, kasak-kusuk sentimen itu sering terdengar.Philip Treeby, misalnya. Warga kulit putih ini merasa semakin sulit mencari pekerjaan. Ia juga menuduh kulit hitam terlalu mendominasi."Pemerintahan sekarang tak lagi memuaskan. Mencari pekerjaan begitu susahnya dan masih ada ketimpangan. Ini bisa memunculkan ketegangan sosial," kata sarjana teknik yang tinggal di Pretoria ini.Ketika ditanya tentang Mandela ia langsung menjawab, "Ohhh, dia orang yang sangat baik. Kami tak mungkin melukainya. Tapi, jika ia sudah tak ada, entahlah apa yang terjadi."Philip, seorang warga kulit hitam berkomentar lain. "Sekarang semuanya terbuka. Siapa yang belajar dan bekerja keras akan mendapat hasilnya. Kecemburuan sosial mungkin ada. Tapi, saya kira tak akan terjadi konflik besar. Kami tak akan melupakan Mandela, meski ia tak ada kelak," ujarnya.Sementara Chris, warga kulit berwarna, termasuk yang mencemaskan jika Mandela tiada. Menurutnya, sinisme antar-ras masih ada dan ketimpangan sosial bisa memperdalam persoalan."Situasinya bisa mudah tersulut jika Mandela tiada. Selama ia hidup, kita masih sungkan dan menghormati dia," tuturnya.Kulit BerwarnaBeda lagi dengan kulit berwarna yang banyak bermukim di Cape Town. Kota ini identik dengan gangster. Hampir di setiap blok ada geng. Basis bisnis mereka adalah narkoba.Saya menyempatkan berkunjung ke markas salah satu geng di Cape Town yang bernama Nice Time Kids. Salah satu pendolan geng, Bohlah, memperkenalkan rekan-rekannya di ruang rahasia mereka.Lalu, mereka seperti curhat. Segala ketidakpuasan dan kekesalan sosial mereka sampaikan. Mereka terpaksa menjual narkoba, dengan alasan karena kulit berwarna tidak memiliki kesempatan yang sama dibanding kulit putih maupun kulit hitam."Kami juga ingin menjadi nakhoda, dokter, insinyur, atau pebisnis. Tapi, kesempatan kami sangat sempit. Sehingga, banyak yang menjadi anggota geng dan terjun di bisnis narkoba demi menyambung hidup," kata Bohlah.Itu tampaknya menjadi tantangan Afsel ke depan. Begitu kuatnya ketokohan Mandela, sehingga semua rakyat mencintainya dan tak mau melukainya.Maka, sudah seharusnya Mandela tetap dihidupkan sebagai simbol negara dan bangsa, sebagai alat pemersatu. Cita-cita mulianya untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat tanpa pandang bulu, juga menjadi tantangan negeri ini untuk mewujudkannya. Sehingga, tak perlu pula ada kecemburuan sosial atau bahkan konflik sosial. Sebab, itu akan mengganggu ketenangan Mandela di taman keabadian.Afrika Selatan memang masih membutuhkan Mandela. Kematiannya bukan berarti mengakhiri keberadaannya. Justru sebaiknya ia tetap hidup dan dihidupkan sebagai simbol pemersatu bangsa dan inspirator menuju masa depan.Semoga Mandela akan tetap "hidup". (Hery Prasetyo)