Intisari-Online.com -Tiba-tiba teriakan suara anak-anak terdengar nyaring di halaman Balaikota Lund, Skane, Swedia. Tomten vakna! Tomten vakna! Tomten vakna!, bunyi teriakan tersebut, yang artinya Santa Klaus bangun! Santa Klaus bangun!Siang itu, empat pekan sebelum Natal, anak-anak berteriak membangunkan Santa Klaus dari tidurnya yang lelap dalam boks sejak berakhirnya Natal tahun lalu.
Ciat! Sang Santa pun terbangun, anak-anak menyambutnya dengan gempitaa. Sorak-sorai menggema di sekitar, anak-anak berebut mendatangi pria berjenggot ikonik tersebut.Di sudut lain, orangtua tampak antusias mengabadikan momen gembira tersebut, dengan kamera ponsel, juga denga kamera sakunya.
Udara dingin yang mencapai 5 derajat celsius tampak tak mengurangi antusias pengunjung mengikuti acara pembuka dari rangkaian kegiatan Thomanders Jul i Lund. Dalam istilah Indonesia disebut dengan Natal ala Thomanders di Lund.
Acara tersebut akan dilangsungkan sejak empat pekan sebelum Natal berlangsung, tiap akhir pekan. Nama acara tersebut terinspinrasi dari nama seorang uskup lokal, Johan Henrik Thomanders (1798-1865) yang terkenal suka berderma. Selai sebagai uskup, Thomanders adalah seorang politisi, guru, anggota The Swedish Academy, serta guru besar teologi di Lund Universiteit.
Hingga akhir hayatnya Thomanders menetap di Lund. Dia dianggap sebagai pioner perayaan Natal yang dikenal hingga sekarang di Lund; membagikan kado dan menghias pohon natal.
Thomanders Jul i Lund tak hanya seremonial membangunkan Santa saja, kegiatan juga dimeriahkan oleh parade marching band mahasiswa-mahasiswa universitas setempat. Lebih dari itu, acara ini sengaja dikonstruk untuk menciptakan suasana aman dan nyaman bagi masyarakat warga kota Lund dan sekitaranya.
Menurut Lena Birgersoon, penggagas acara tersebut, karena acara ini adalah untuk warga, maka sebagian besar kegiatan diselenggarakan secara cuma-cuma alias gratis. Warga dengan bebas menikmati teater, bazar, diskusi, dan hiburan-hiburan yang lainnya.
Thomanders Jul i Lund diselenggarakan untuk pertamaka kali pada 2012 silam. Meski demikian, adanya komitmen yang kuat dan dukungan dari beberapa aspek, menjadikan acara ini menjadi rujukan warga untuk merayakan liburan akhir tahunnya.
Tujuan jangka panjangnya jelas, Lena berharap acara ini bisa menjadikan Lund sebagai kita yang terlintas di benak orang-orang ketika memikirkan Natal. Lantas orang-orang akan berkunjung ke Lund, bermalam di hotel-hotelnya, dan secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan kota tenang tersebut.
Jika ditilik lebih detail, apalagi sebagian besar diadakan cuma-cuma, kegiatan ini sejatinya membutuhkan dana yang cukup besar. Banyak pihak yang membantuk kelangsungan acara tersebut; tak hanya pemerintah kota saja, tapi juga swasta dalam bentuk sponsor.
Pada titik inilah Indonesia bisa belajar banyak dari kota Lund di Swedia. Meskipun melibatkan sponsor secara masif, tapi tidak ada pemasangan spanduk, baliho, umbul-umbul, yang merusak suasana. Juga tidak ada stan-stan. Kompensasi yang disepakati bersama hanya penyebutan nama berukuran kecil di halaman belakang katalog acara. (Kompas)