Label Halal MUI Menjelaskan yang Subhat

Moh Habib Asyhad

Editor

Label Halal MUI Menjelaskan yang Subhat
Label Halal MUI Menjelaskan yang Subhat

Intisari-Online.com -Dalam aneka produk makanan, kita sering menemui tulisan “halal” dalam huruf Arab yang khas. Tentu saja tanda itu bukan sekadar asal tempel. Logo ikonik tersebut dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kepada produk yang memang layak mengenakannya. Tujuannya, untuk menjelaskan kesuhbatan alias keraguan orang yang hendak mengonsumsinya.

Landasan utamanya jelas Alquran yang mengatur ikhwal makanan-makanan apa saja yang dianggap tidak halal: babi, khamr (alkohol), bangkai, darah, dan hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Tuhan (Allah). Faktor kesehatan juga menjadi perhatian khusus sehingga makanan itu masuk dalam kategori halalan thayiban alias halal dan baik. Suatu makanan mungkin aslinya halal, tapi berubah menjadi tidak halal kalau terpapar bahan-bahan yang tidak halal.

Makanan juga bisa menjadi tidak halal jika namanya menyerupai hal-hal yang diharamkan. Misalnya, “pizza babi imitasi”, padahal bahannya seratus persen daging sapi. “Karena namanya itu yang menyerupai,”terang Dr. Ir. Mulyorini, Kepala Bidang Auditing LPPOM.

Meski terkait dengan orang banyak, sertifikasi halal ini sesungguhnya inisiatif perusahaan itu sendiri, dan bukan LPPOM MUI. Lembaga ini tidak mempunyai hak memaksa produsen untuk menghalalkan produknya. Haknya, sebatas memberi masukan. “Masukan biasanya diberikan biasanya setelah ada keluhan dari masyarakat,” ujar Ir. Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur LPPOM MUI.

Menjelaskan yang syubhat

Mulyorini menegaskan, sesuatu yang halal dan haram itu jelas aturannya. Namun di antara keduanya ada yang syubhat alias meragukan. Nah, barang siapa yang mendekatisyubhat, berarti mendekati haram. Bagi masyarakat, masalahnya saat ini makanan bukan hanya yang berasal dari alam dan telah jelas ketentuannya.

“Dulu siapa yang mengira saat ini kita bisa memakan jeruk tapi sejatinya bukan jeruk yakni lewat permen,” tambah Mulyorini.

Permen atau minuman rasa jeruk misalnya, membuat konsumen ragu apakah ini benar-benar perisa jeruk atau bukan. Atau hanya sesuatu yang dibikin menyerupai jeruk? Sering juga ada yang bertanya perihal proses pembuatannya. Dalam kondisi seperti inilah keraguan atau syubhat muncul. Sertifikasi halal-lah yang akan membuat konsumen menjadi yakin dalam mengonsumsinya.

Ada kalanya, beberapa elemen menjadikan sesuatu yang halal menjadi tidak halal. Bisa jadi itu proses memasak, proses penyembelihan, fasilitas pendukung, atau bisa juga ada tambahan turunan bahan makanan yang dianggap tidak halal dicampur di makanan yang halal. Ice cream menjadi tidak halal jika gelatine yang dipakai untuk melembutkan dan membuat kenyal berasal dari tulang babi. Keju halal jika proses penggumpalan susunya tepat, yaitu menggunakan enzim renin yang terdapat pada sapi. Tapi statusnya akan berubah kalau enzim yang dipakai adalah renin yangdihasilkan dari lambung babi.

Daging sapi yang awalnya halal, tapi karena disembelih dengan cara yang tidak tepat—tidak menyebut nama Tuhan—berubah menjadi tidak halal. Nah, bagaimana kalau memotong sapinya banyak? Aturannya, tetap harus dilakukan penyem-belihan secara tradisional satu persatu dengan menyebut nama Tuhan. Ada juga yang ragu mengenai kehalalan daging impor dari negara-negara yang mayoritas penduduknya tidak muslim seperti Australia.

Jangan khawatir, daging-daging sapi yang diimpor dari Australia juga sudah mendapat jaminan sertifikat halal dari lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah Australia, Islamic Coordinating Council of Victoria dan Supreme Islamic of Halal Meat in Australia Inc (NSW). Sama seperti LPPOM-nya MUI, lembaga-lembaga pemberi sertifikat halal di Australia tersebut juga bekerja dengan prosedur yang sama.

Fasilitas produksi juga menjadi acuan produk tersebut halal atau tidak. Dapur dan alat masak misalnya. Ada dua buah rumah makan tapi hanya dimiliki satu area dapur karena kepunyaan satu orang. Dari dua warung itu, salah satunya menjual produk makanan yang tidak halal. Bagi LPPOM, otomatis warung satunya tidak layak halal.

“Karena dapurnya menjadi satu, kemungkinan besar tempat menyucinya juga satu. Ada kekhawatiran pisau yang digunakan memotong juga sama, priuk pemasaknya juga sama,” ujar Mulyorini. Jika memang berniat mendirikan dua warung—yang satu halal, yang satu haram—maka, tambah Mulyorini, dapurnya juga harus ada dua.