Intisari-Online.com - Jenazah Pius Pua Bana (49) diajak bercanda dan bergembira bersama keluarga dan warga masyarakat Bikomi sebelum dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Maslete, Selasa (4/3/2014). Ini merupakan tradisi masyarakat adat Bikomi.
Pantauan Pos Kupang, Selasa (4/3/2014), sebelum jenazah dikeluarkan dari rumah duka, secara berurutan istri almarhum bersama anak-anaknya memberikan penghormatan terakhir. Selanjutnya diikuti oleh saudara-saudarinya dan orangtua, keponakan langsung, keponakan luar, dan ipar dalam ipar luar.
Selanjutnya, setelah peti jenazah ditutup, pasukan "berkuda" yang menjadi kendaraan bagi Pius Pua Bana untuk dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya disiapkan, yakni dengan menyediakan dua batang bambu mentah.
Peti jenazah dikeluarkan dan saat peti jenazah dibawa keluar, istri dan anak-anak almarhum berjalan melintasi kolong peti jenazah sebagai tanda perpisahan antara almarhum dan keluarga inti.
Jenazah almarhum kemudian diarak dengan berjalan kaki mulai dari rumah duka menuju TPU Maslete yang berjarak sekitar empat kilometer.
Sepanjang perjalanan, walau sempat diguyur hujan deras, ratusan keluarga dan masyarakat Bikomi tetap semangat dan terus bercanda dengan almarhum, yakni dengan aksi tarik-dorong antara anggota keluarga dan masyarakat yang berada di depan versus keluarga dan masyarakat yang berada di belakang peti jenazah.
Aksi tarik-dorong peti jenazah almarhum ini sendiri dilakukan secara berulang kali, terutama di titik-titik persimpangan jalan, dan dilakukan dengan penuh sukacita dan sorak-sorai dari ratusan keluarga dan masyarakat Bikomi yang ikut dalam prosesi pemakaman ini.
Aksi ini, menurut tradisi setempat, merupakan kesempatan untuk bercanda ria dengan anggota keluarga bangsawan Bikomi yang meninggal dunia.
"Ini merupakan kesempatan untuk bercanda dan bersuka cita bersama dengan almarhum untuk terakhir kali. Dan ini sudah menjadi tradisi masyarakat Bikomi pada umumnya dan keluarga Bana sehingga tidak bisa kami tinggalkan. Prosesi dari rumah duka ke tempat pemakaman juga dilakukan dengan berjalan kaki karena tidak boleh dinaikkan ke atas kendaraan," jelas salah seorang keluarga almarhum, Theodorus Bana, seperti dikutip dari Pos Kupang di TPU Maslete, Selasa (4/3/2014), terkait aksi tarik-dorong jenazah almarhum Pius Pua Bana.
Sementara prosesi arak-arakan ke TPU yang dilakukan dengan berjalan kaki ini, menurut Theodorus, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi yang ada antara turunan bangsawan dan masyarakat Bikomi.
"Kalau jenazah almarhum dinaikkan ke atas mobil untuk dibawa ke tempat pemakaman, itu sama dengan kami tidak menghargai masyarakat Bikomi," tegasnya.
Tradisi Manhelan
Tradisi Manhelan atau tradisi bercanda dengan jenazah, berasal dari bahasa Dawan yang berarti saling tarik. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun untuk semua jajaran keturunan bangsawan Bikomi, khususnya keluarga Bana.
Karena itu, setiap kali ada anggota keluarga Bana yang meninggal dunia, prosesi pemakaman dilakukan dengan berjalan kaki diwarnai aksi saling tarik-dorong, baik untuk anggota keluarga bangsawan laki-laki maupun perempuan.
Almarhum Pius Pua Bana sendiri merupakan anak ketiga dari Raja Mikael Bana. Dia merupakan calon penerima tongkat kerajaan Bana selanjutnya jika tidak meninggal. (Tribunnews.com)