Intisari-Online.com - Keberadaan pasangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dinilai merupakan rahmat dan anugerah dari Tuhan kepada masyarakat Ibu Kota. Mereka muncul menjanjikan perubahan untuk mewujudkan "Jakarta Baru".Namun, baru satu setengah tahun pasangan ini menjalankan tugasnya di Jakarta, Jokowi sudah akan maju menjadi bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Pemilu Presiden 2014."Keputusan sekarang ada di tangan warga Jakarta, apakah rela warga melepas rahmat Tuhan itu?" kata pengamat perkotaan Yayat Supriyatna dalam diskusi di Eatology, Jakarta, Kamis (27/3/2014).(Baca juga:Jokowi Ibarat Hatta, Ahok Ibarat Soekarno)Akademisi Universitas Trisakti itu mempertanyakan ketetapan hati warga Jakarta yang melepas pemimpinnya di kala kinerjanya belum terlihat dan terealisasi. Dia berpendapat, saat Pemilu Gubernur DKI 2012 lalu, tak sedikit warga yang menaruh harapan besar kepada pasangan Jokowi dan Basuki untuk menuntaskan janji perubahan selama lima tahun.Menurut Yayat, masih banyak pekerjaan rumah dan janji Jokowi yang belum terwujud. Banyak program, imbuh dia, yang sejauh ini juga baru sekadar wacana. Yayat juga berpendapat bahwa dinamika politik seperti pencalonan Jokowisebagai capresini merupakan konsekuensi dari pola pemilihan pemimpin berasal dari partai politik. Ketika nama Jokowi mencuat, ujar dia, partai politiknya pun punya hak membawa Jokowi ke tingkat yang lebih tinggi.Partai politik seharusnya pertimbangkan aspek etikaYayat menambahkan, partai politik seharusnya tetap memandang aspek etika kepada masyarakat. Bagaimanapun, ujar dia, Jokowi dan Basuki adalah gubernur dan wakil gubernur pilihan masyarakat."Memang sulit kalau sudah kepemimpinan itu diintervensi kepentingan parpol," katanya.(Baca juga:Bagaimana Nasib “Jakarta Baru”? Ini Jawaban Jokowi)Yayat mengungkapkan, Jakarta memerlukan sosok pemimpin eksekutor, serta punya keberanian dan legitimasi yang tinggi. Sebab, menurutnya pemasalahan di Jakarta, sangat besar dan multikompleks sehingga butuh ketiga prasyarat tersebut untuk mengisi posisi kepala daerahnya."Beban hidup di Jakarta ini semakin berat dan mahal, apalagi biaya transportasinya. Makanya, butuh pemimpin yang bersifat eksekutor untuk membuat kebijakan dengan cepat," ujarnya. (Kurnia Sari Aziza/ Kompas)