Intisari-Online.com - Mendiang dalangAsep Sunandar Sunarya boleh dibilang dalang yang berpandangan progresif dan jauh ke depan. Pasalnya, ia menginginkan adanya perubahan dan kemajuan dalam dunia dalang dan pewayangan, agar mampu dikenal oleh banyak orang."Dalang masa depan seharusnya juga bisa menggunakan bahasa Indonesia, sehingga wayang golek Sunda akan dikenal secara nasional. Nanti panggilan wayang bisa dari Sulawesi misalnya," tuturnya.Menanggapi hal tersebut, tak sedikit orang yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak enak didengar jika dipakai sebagai bahasa wayang. Namun menurut Asep,"Tidak enaknya itu kare-na dalangnya nggak kreatif. Jangan ikut surupan, yakni nada bicara mengikuti nada suara gamelan, seperti kalau memakai bahasa Sunda. Tapi, harus mengikuti gaya bicara macam pertunjukan drama atau teater." Selain itu menurutnya, akan lebih dasyat lagi jika ki dalang mampu berbahasa Inggris, misalnya. Dengan begitu, dunia seni wayang, yang konon menurut seorang pakar seni merupakan teater terbesar di dunia, mungkin akan betul-betul bisa menembus cakrawala dunia seni budaya internasional. (Baca juga:Ridwan Kamil: Asep Sunandar Sunarya Melegenda karena Inovasinya)Dalang muda harus ikut ambil andilMeski mengajukan saran bagi setiap dalang untuk menggunakan bahasa selain bahasa Sunda, Asep mengaku belum pernah mencoba ide tersebut. "Soalnya, saya harus belajar bahasa Indonesia lebih jauh lagi. Padahal 'IQ' saya sudah menurun," katanya sembari tertawa lebar. Dalam kehidupan sehari-hari Asep memang lebih banyak memakai bahasa ibunya, Sunda, meski bahasa Indonesianya bukan tidak lancar. Tapi, untuk memainkan wayang dengan bahasa Indonesia ia mengaku tak sanggup. Ia lantas menyerahkan tantangan itu kepada para dalang muda. "Saya yakin gagasan itu nanti bisa gol," kata Asep optimis.
Meski begitu, Asep pernah mengaku, ada satu hal yang membuatnya risau. "Anak muda zaman sekarang, apalagi di kota-kota (besar), agaknya lebih kenal Batman, Superman, Goggle, Ro- bocop, Kura-kura Ninja dan se- bangsanya, daripada Gatotkaca, Cepot, Dawala dan tokoh-tokoh wayang beken lainnya. Kalau tak didukung dengan pembinaan terhadap penonton (muda) dan pengembangan diri para dalang, apa jadinya wayang golek Sunda kelak?" paparnya.
Kerisauan Asep mungkin juga kerisauan sekalangan masyarakat pemerhati dan pencinta seni budaya nasional. Agaknya sulit dipungkiri bahwa tidak mudah membendung mengarusnya budaya asing ke Indonesia di era informasi yang kian canggih ini, meski disadari tak ada masyarakat yang bisa dilayani hanya oleh satu bentuk kesenian saja. (Baca juga:Peduli Wayang, Peduli Bangsa)Barangkali pertanyaan bernada menggugat dari seorang pengamat seni masih relevan dikedepankan, "Relakah kita kehilangan kesenian besar bernama pedalangan ini?"(Artikel ini pernah dimuat di MajalahIntisariedisi November 1990)