Intisari-Online.com. - “Masih bebas nggak sih, pers di Indonesia?” itu pertanyaan pembuka Ulin Yusron, jurnalis Jurnal Parlemen dalam diskusi jurnalistik bertema “Kebebasan Pers: Sampai Manakah Batasnya?”. Diskusi ini sebagai rangkaian dari Journalist Day. Acara yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut berlangsung di kantor Dewan Pers pada hari ini.Dalam diskusi tersebut, Ulin membawa suasana pers era Orde Baru, salah satunya fakta ‘unik’ yang membedakan pers era sekarang dengan pers era Orde Baru. Antara lain, dulu, Pemimpin Redaksi dipantau oleh Kodim. Berita yang akan dimunculkan juga harus dikirim dulu ke pemerintah untuk dicek kontennya.(Baca juga:Menulis untuk Menata Pikiran)Menjadi wartawan di era Soeharto pun tak mudah. Sebelum diterima menjadi wartawan, mereka harus menunjukkan dirinya tidak ada afiliasi dengan organisasi terlarang, semisal PKI.Selain itu, ada indikasi penghalusan kosakata yang digunakan pers era Orde Baru. Ulin memberi contoh. “Korupsi dihaluskan menjadi penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya. Ada juga kata ditangkap yang dihaluskan menjadi diamankan di kantor polisi.(Baca juga:Lorong Masa: Gema Pers Saat Detik Proklamasi RI (1))Namun kini, pers Indonesia sudah bebas. Mendirikan media tak lagi banyak aturan. Bahkan, demokrasi pers membuat media terus tumbuh. Hingga tak terkontrol lagi kuantitas dan kualitasnya.Journalist Day mendatangkan mahasiswa-mahasiswa dari Lembaga Pers Mahasiswa di Indoneisa, antara lain LPM Gema Keadilan Universitas Diponegoro, LPM Ultimagz Universitas Multimedia Nusantara, dan LPM Profesi dari Universitas Negeri Makassar.