Intisari-Online.com - Pernah dengar seorang wanita yang setiap kali menikah selalu ditinggal mati pasangannya? Benarkah ia ditakdirkan sial terus? Dalam kultur Jawa, manusia panas itu disebut bahu laweyan. Nah, bagaimana duduk persoalan misteri ini beberapa “pakar” mencoba mengungkapkannya.
---
Digantikan dengan apa pun kalau nyawa yang jadi taruhan, tak seorang pun mau mengawini seorang bahu laweyan. Lantas, bagaimana menentukan apakah seseorang termasuk kelompok bahu laweyan? Drs. M.M. Sukarto K. Atmodjo, ahli tulisan kuno, dalam tulisannya "Fisiognomi dalam Masyarakat Jawa" yang pernah diseminarkan tahun 1993 di Yogyakarta, secara ringkas pernah menyinggung bahu laweyan.
Bahu laweyan identik dengan wanita tipe raseksa yang selain selalu mengalahkan suami, juga suaminya lekas meninggal. Bersumber pada data naskah-naskah kuno Sukarto mengatakan, ciri-ciri tipe wanita raseksa atau bahu laweyan adalah memiliki tanda dua lingkaran di punggung kiri dan kanan yang disebut sujen pala, serta dua lingkaran di pantat kiri dan kanan atau sujen bokong. Tak jauh berbeda dengan keterangan di atas, Ny. Indah SP seorang wanita paranormal dari Bekasi menuturkan, yang menandai apakah seseorang itu bahu laweyan atau tidak adalah terdapatnya lahir atau toh di punggungnya.
Dalam hal ini. baik Ny. Indah SP maupun Dra. Astuti Hendrato, mantan dosen sastra Jawa UI, menuturkan bahwa sebagian besar masyarakat Jawa meyakini dan percaya tanda-tanda di tubuh atau bentuk anggota badan mencerminkan watak dan nasib seseorang. Misalnya, tahi lalat di bibir berarti orangnya ceriwis. Pemilik tahi lalat di pundak adalah orang yang selama hidupnya berbeban berat. Begitu pula dengan tanda-tanda lain yang ada di bagian-bagian tubuh tertentu.
Mengenai tanda yang menyertai kelompok bahu laweyan, Ny. Astuti menyebutkan adanya benjolan di salah satu bagian bahu. Ciri lain adalah. Gambar ular berbentuk bayang-bayang di bawah kulit tubuhnya. Namun, menurut Astuti gambar ular itu hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki kemampuan khusus.
-bersambung-
Tulisan ini ditulis di Majalah Intisari edisi Maret 1996 dengan judul asli Bahu Laweyan "Pemangsa" Pasangan.