Intisari-Online.com - Penyakit asma masih menjadi momok. Buktinya Badan Kesehatan PBB (WHO) mencatat, saat ini asma merupakan penyebab kematian nomor lima. Selain itu, sedikitnya 250.000 orang meninggal karena asma setiap tahun.
Terlepas dari fakta tersebut, para penderita asma rupanya masih bisa mengatasi dampak penyakit ini. Namun di masyarakat masih sering muncul pertanyaan yang cukup mendasar seputar asma. Apakah penderita asma bisa beraktivitas seperti orang normal? Sejauh mana asma bakal menurun pada anak? Benarkah asma berisiko memicu penyakit pernafasan? Lalu, apakah asma bisa muncul pada mereka yang tidak mempunyai riwayat asma sebelumnya?
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan, tapi dapat dikontrol. Asma muncul karena terjadi peradangan kronis pada saluran nafas. Biasanya, begitu terkena faktor pencetus asma penderitanya langsung batuk atau mengalami sesak nafas karena saluran nafasnya menyempit. Tapi ada juga orang yang tidak mempunyai kecenderungan seperti.
“Agar asma bisa dikontrol kita harus mengetahui dulu apa pencetusnya. Debu, kelelahan, atau stres, bisa menjadi faktor pencetus,” ujar dr. Wahyuningsih, Sp.P, dari Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Maka, lanjut dia, agar tidak kambuh kita harus menghindari ketiga faktor pencetus tersebut. Misalnya, tidak beraktivitas terlalu berat yang menyebabkan kelelahan.
Di lingkungan kerja, penyebab asma kambuh biasanya dipicu oleh debu. Atau, bisa juga disebabkan oleh occupational asthma, yaitu faktor pemicu asma yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Contoh, pekerja di pabrik wool atau yang pekerjaan yang berhubungan dengan kapas dan debu biasanya rentan terserang asma. Jadi, hanya pada saat di kantor saja asmanya kambuh. Saat libur, asmanya sembuh. Jika semua pencetus yang berasal dari lingkungan itu tidak bisa kita hindari, mau tidak mau harus memakai obat.
Lebih lanjut Wahyuningsih menjelaskan, asma lebih banyak muncul karena faktor genetis (keturunan). Faktor keturunan membuat seseorang berpeluang lima kali lebih besar terserang asma. Pilihan pasangan hidup pun bisa berpengaruh. Misalnya, suami penderita asma dan istrinya mudah terkena alergi, maka anaknya kemungkinan besar bakal terkena asma. Kemungkinan terjangkit asma relatif lebih kecil pada anak yang salah satu orangtuanya penderita asma.
Namun, semua itu baru sebatas kemungkinan belaka. Bisa saja asma timbul bukan dari faktor orangtua, tetapi dari kakek dan neneknya, atau karena faktor lain. “Karena faktor keturunan tidak selalu dapat menjadi ukuran, maka asma jangan dijadikan alasan untuk memutuskan hubungan dengan calon pasangan Anda,” kata Wahyuningsih.
Bagi pasangan yang mempunyai penyakit asma, kemungkinan untuk mencegah penurunannya pada anak bisa dilakukan pada saat hamil. Pada masa ini, faktor-faktor pencetusnya itu bisa dihindari supaya anaknya tidak mewarisi penyakit tersebut.
Selain faktor gen, obesitas merupakan pemicu asma terbesar kedua. Saat masih kecil gejalanya bisa jadi belum muncul. Tapi menjelang dewasa, aktivitas mulai berkurang sementara nafsu makan meningkat. Maka, asma bisa timbul karena kegemukan akibat pola makan atau gaya hidup tidak sehat. Terlebih saat ini banyak remaja yang gemar mengkonsumsi makanan berbahan pengawet atau sudah tidak segar lagi. Hal ini akan berpengaruh bagi mereka yang mempunyai faktor pemicu asma dalam tubuhnya.
Polusi juga bisa menjadi penyebab asma. Terbukti, pada negara-negara yang tingkat polusinya parah, tingkat penderita asmanya juga tinggi. Polusi menyebabkan asma kambuh, terutama pada mereka yang mewarisinya karena faktor keturunan.
Tetapi, di luar itu, sesungguhnya asma bisa menyerang siapa saja, tak mengenal gender atau usia. Tapi sebagian penderita asma timbul pada masa kanak-kanak. Sepertiganya lagi asma timbul pada masa usia sebelum 30. Khusus pada perempuan, masa kehamilan rentan terserang asma karena pengaruh hormon.
Asma juga bisa muncul pada mereka yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat atau keturunan asma. Pada mereka mempunyai kadar hormon antibodi (imunoglobulin E/IgE) dan sel darah putih eosinofil tinggi, mudah terjangkit asma. Sebab, tingkat sensitivitasnya tinggi sehingga mudah terkena alergi pemicu asma.
“Jika penyakit asma dibiarkan terus kambuh akan menyebabkan kerusakan saluran pernafasan makin berat. Asma yang tidak terkontrol dalam waktu lama, pengaruhnya bisa sampai pada pembuluh darah paru,” papar Wahyuningsih. Inilah yang menyebabkan tingkat kematian asma cukup tinggi sebagaimana ditegaskan data WHO di atas. Faktor stigma atau kekeliruan orang dalam mengobati asma menjadi penyebabnya.
Idealnya, jika tingkat asma sudah mencapai taraf sedang (3 kali seminggu kambuh), harus diobati dengan obat semprot rutin, baik dalam keadaan kambuh atau tidak. Jadi, obatnya harus dipakai sesering mungkin agar tidak kambuh. Semakin sering kambuh obat yang dikonsumsi harus semakin sering dan semakin banyak dosisnya.