Sejak itulah kedudukan Perkebunan Cikopo menjadi penting bagi militer Jerman. Bukan sekadar tempat tetirah tapi juga lumbung logistik bagi Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman). Berbagai kebutuhan makan seperti sayur-mayur, kentang, daging sapi, daging babi, daging ayam mengalir ke 42 kapal selam Jerman yang beroperasi di sekitar Asia Tenggara.
Baca juga: Bangunan Rahasia Nazi Baru Terbongkar Setelah 38 Tahun Didirikan di Kanada, Begini Wujudnya
Para prajurit Angkatan Laut Jerman menyebutnya sebagai "U-Boots-Weide" (padang rumput untuk kapal selam)," tulis Zahorka.
Namun kekalahan Jerman dari Sekutu, 8 Mei 1945, membuat para serdadu Jerman patah semangat. Terbukti Mayor Laut Dr. Hermann Kandeler, salah satu petinggi Angkatan Laut Jerman, menolak ajakan Admiral Maeda, salah satu komandan Nihon Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk berperang dengan sekutu.
Para marinir Jerman yang bertugas di kapal-kapal selam malah memutuskan untuk mendarat dan"bersempunyi" di Perkebunan Cikopo. Di bawah pimpinan Komandan U-129 yakni Mayor Laut Burghagen, mereka membawa senjata dan kendaraan-kendaraan mereka ke tempat Albert Vehring tersebut.
"Di Cikopo, mereka melepas seragam Kriegsmarine dan berlaku sebagai orang sipil. Adapun kapal-kapal selam yang tersisa mereka berikan kepada orang-orang Jepang," tulis Zahorka.
Ketika giliran Jepang menyerah kepada Sekutu, 14 Agustus 1945, sebulan kemudian keberadaan para serdadu Nazi Jerman di Cikopo itu tercium oleh intelejen pasukan Inggris yang datang mewakili Sekutu di Indonesia.
September 1945, sepasukan Gurkha dikirim untuk menyerang sekaligus mengevakuasi para serdadu Jerman itu ke Bogor. Tak ada perlawanan. Malah serdadu Jerman itu bersedia membantu tentara Inggris mengurusi para tawanan Belanda. Tentu syaratnya, kehidupan dan keamanannya terjamin.
Dengah truk milik Jepang, pasukan Jerman dikirim ke Bogor. Tapi sebelum berangkat, tentara Inggris memerintahkan mereka untuk mengenakan seragam dan membawa pula senjata. "Ternyata Inggris memanfaatkan serdadu Jerman tersebut untuk melindungi orang-orang Belanda yang semula ditawan Jepang dari serangan para gerilyawan Indonesia," tulis Zahorka.
Di-Onrust-kan oleh Belanda
Sekitar pertengahan Januari 1946, tentara Inggris menyerahkan 260 orang sisa-sisa serdadu Jerman kepada NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). NICA kemudian memenjarakah mereka di Pulau Onrust, sebuah kawasan terpendl bekas tempat rehabilitasi lepra yang terletak di Kepulauan Seribu.
Kondisi di Onrust sangatlah buruk. Orang-orang Jerman banyak yang mati karena demam berdarah, malaria, dan kelaparan. Banyak yang mencoba melarikan diri. Ada yang gagal dan ditembak mati seperti seorang Jerman bernama Freitag.
Baca juga:Nasib Anak-anak Para Pemimpin Nazi: Bertobat dan Mengabdi kepada Sesamanya dengan Menjadi Imam
Namun dua orang berhasil lolos, Werner dan Losche, anggota Kriegsmarine dari U-219. Konon ketika mendarat di Pulau Jawa, keduanya memutuskan untuk bergabung dengan gerilyawan Indonesia. Losche bahkan gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api.
Juli 1946, Palang Merah Swis mengetahui keberadaan tawanan di Onrust, namun baru pada 28 Oktober 1946 dilakukan'evakuasi. Para tawanan pulang melalui Jakarta, Bombay, Rotterdam, hingga tiba di Hamburg pada awal Desember 1946.
Makam sepuluh orang Jerman itu menjadi saksi bisu keberadaan tentara NAZI di Indonesia. Di kaki Gunung Pangrango, tapak mereka masih bisa dilihat saat ini. Perang tak hanya menimbulkan kesia-siaan namun juga dapat memisahkan seorang manusia dari tanah airnya tercinta.
(Ditulis oleh: Hendi Johari – Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2011)
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR