Menjelang Magrib, kami pulang ke rumah tanpa informasi yang memadai. Titik terang justru saya dapatkan di dunia maya. Terutama dari tulisan-tulisan Herwig Zahorka, seorang sejarawan yang mendalami sejarah militer NAZI di Indonesia. Kisahnya ternyata begitu heroik. .
Bermula dari Hellferich Bersaudara
Kedutaan Besar Jerman Barat di Indonesia secara resmi menangani pemakaman di Arca Domas sekitar pertengahan tahun 1980-an, setelah sebelumnya ada di bawah Afdeling Cikopo Perkebunan Teh Gunung Mas.
"Yang ditugasi'' pihak perkebunan untuk merawat pemakaman Jirman (maksudnya Jerman) itu, bapak saya yang namanya Atmadja,” terang Mak Ema.
Sejarah Afdeling Cikopo yang merupakan bagian dari Perkebunan Teh Gunung Mas, terkait erat dengan dua bersaudara: Emil dan Theodor Hellferich, yang memulai perkebunan ini.
Alkisah, pasca Perang Dunia I (1914-1918) kedua warga negara Jerman itu membeli tanah seluas 900 ha, menanaminya dengan teh, sekaligus mendirikan pabrik yang pengelolaannya di kawasan Cikopo.
Baca juga: Tentang Tiga Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi di Mauthausen
Kehadiran Hellferich bersaudara, yang masih bersaudara kandung dengan Wakil Perdana Menteri Kekaisaran Jerman terakhir yakni Karl Hellferich, tak lain merupakan buah dari politik pintu terbuka (opendeur politiek) Pemerintah Hindia Belanda.
Sejak tahun 1905, terbuka kesempatan seluas-luasnya kepada orang Eropa non Belanda untuk berinvestasi di Hindia Belanda.
Investasi ini menguntungkan. Buktinya mereka sanggup membuat pabrik dengan kabel pengangkut daun teh dan gedung-gedung peristirahatan yang megah di kawasan berketinggian 900 mdpl itu.
Hellferich bersaudara juga dikenal patriotik. Kecintaan mereka terhadap negerinya antara lain terlihat dari monumen penghormatan terhadap aksikepahlawanan Admiral Maximihah Graf von Spee, Komandan Skwardon Jerman Asia Tenggara (Deutsch-Ostasiatisches Geschwader) di Kampung Arca Domas.
Aksi kepahlawanan admiral itu terjadi 8 Desember 1914 saat terjadi bentrokan dengan Inggris hingga menyebabkan kapalnya karam di Kepulauan Falkland.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR