Intisari-Online.com - Tidak hanya udara, air ketuban bahkan bisa menjadi musuh ibu hamil. Air ketuban dapat masuk ke dalam pembuluh darah ibu hamil hingga menciptakan emboli yang menghalangi sirkulasi. Akibatnya terjadi gagal jantung, gagal nafas, hingga pendarahan.
Sama seperti halnya emboli udara, emboli air ketuban memiliki angka prevelensi 1 dalam 8-80 ribu persalinan. Dengan angka sebaran tersebut, emboli sangat jarang terjadi termasuk di Indonesia. Emboli ini bisa muncul selama kehamilan atau sesaat setelah persalinan.
Meski begitu, emboli tidak memberi kesempatan pasien hidup lebih lama. “Peluang hidup korban emboli sangat kecil, tidak sampai 10 persen. Korban yang selamatpun hampir 70 persen mengalami gangguan saraf. Namun sayangnya, emboli bukan gangguan yang bisa diprediksi atau dicegah,” kata ahli kandungan dan kebidanan dari FKUI-RSCM, Yudianto Budi. S, dalam acara Risiko Kejadian Emboli pada Kehamilan dan Persalinan yang diadakan di Jakarta.
Kejadian emboli, terang Yudi, sepenuhnya merupakan kehendak alam. Namun ada beberapa faktor risiko yang menimbulkan peluang terjadinya emboli. Faktor risiko tersebut adalah kelahiran caesar, persalinan dengan instrument atau induksi, pendarahan, gawat janin, serta usia ibu yang sudah tua. Faktor risiko, lanjutnya, didasarkan riset yang menyatakan kejadian emboli lebih sering terjadi pada persalinan tersebut. Namun bukan berarti ibu yang menjalani persalinan normal berpeluang lebih kecil mengalami emboli.
Dalam emboli air ketuban, cairan amnion masuk ke dalam sirkulasi darah ibu melalui rahim atau saluran plasenta. Saat cairan tersebut mencapai pembuluh darah akan terjadi syok anafilatik, dengan reaksi bergantung pada lokasi hambatan.
Bila terjadi di saluran menuju jantung, maka terjadi syok kardiologi atau gagal jantung. Jika hambatan terdapat di saluran darah menuju paru-paru maka akan terjadi gagal pernafasan. Hambatan juga bisa menyebabkan terjadinya pendarahan.
“Peluangnya terjadinya sama antar ketiganya. Sebab yang satu akan menyulut yang lain seperti lingkaran setan. Akibat yang ditimbulkan sama saja bagi ibu,” kata Yudi.
Reaksi emboli terjadi paling lama 48 jam dan paling cepat 30 menit usai kelahiran. Lamanya reaksi timbul bergantung pada luka (inflamasi) yang timbul akibat hambatan sirkulasi. Semakin besar inflamasi yang timbul, maka reaksi makin cepat. Inflamasi diakibatkan antigen bayi yang masuk ke dalam sirkulasi maternal.
Berdasarkan riset, gejala paling banyak timbul akibat adanya emboli adalah hilangnya kesadaran ibu atau kejang. Gejala ini terjadi pada 35 persen kasus. Kemudian disusul distress janin dan ibu yang mengalami colaps sebesar 23 persen. Sedangkan 14 persen kasus lainnya ditandai menurunnya tekanan darah, nafas memendek, dan bradikardi janin. Selain itu masih ada colaps akibat persalinan normal atau caesar, dengan persentasi yang sama.
Emboli udara dan gejala yang timbul mengakibatkan kondisi gawat janin, yang antara lain ditandai detak jantung bayi yang semakin menurun. Sedangkan pada ibu kondisi tersebut menimbulkan gagal jantung, henti nafas, dan gagalnya pembekuan darah.
“Pada kondisi ini biasanya dokter akan melakukan resuitasi oksigen untuk menyelamatkan ibu. Kondisi gawat janin juga menuntut bayi untuk segera diselamatkan. Dalam mayoritas kasus emboli bayi bisa diselamatkan, walau tidak dengan ibu,” kata Yudi.
Bayi dengan ibu mengalami emboli masih bisa bertahan, karena jenis hemoglobin (Hb) yang dimiliki. Bayi memiliki Hb F lebih banyak, dibanding Hb A yang umumnya dimiliki orang dewasa. Hb F mampu mengikat oksigen lebih lama dibanding Hb A. Dengan kondisi ini bayi mampu bertahan hingga 18 jam kemudian, walau ibu tak lagi bernafas. (Rosmha Widiyani – kompas.com)