Intisari-Online.com - Penelitian meragukan keampuhan sabun antiseptik membunuh bakteri. Bahkan kandungan zat kimia dalam sabun antiseptik tersebut dinilai berisiko mengganggu hormon dan memicu bakteri yang resisten terhadap obat. Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan hasil penelitian yang sudah dilakukan selama 40 tahun atas bahan kimia anti-bakteri yang sering dipakai sebagai komposisi sabun antiseptik dan sabun pembasuh badan.
Penelitian juga mendapatkan peningkatan risiko yang muncul dari penggunaan bahan kimia untuk sabun itu. Food and Drug Administration (FDA) mengatakan, saat ini mereka sedang meninjau kembali keamanan penggunaan bahan kimia semacam triclosan untuk sabun. Berdasarkan penelitian terbaru, zat-zat kimia itu justru mengganggu kadar hormon pemakainya dan memicu pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap obat. Pernyataan awal FDA adalah mendukung hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan zat antiseptik -kemungkinan terbaiknya- tidak efektif dan -kemungkinan terburuknya- mengancam kesehatan masyarakat. "FDA akhirnya meminta industri menunjukkan bahwa produk ini lebih baik dari sabun (biasa) dan air. Dan data tidak membuktikan (keampuhan sabun antiseptik)," kata Stuart Levy dari Tufts University School of Medicine, seperti dilansir Associated Press. Industri jutaan dollar AS Berdasarkan rancangan regulasi yang diusulkan Senin, FDA mengharuskan produsen membuktikan penggunaan sabun antibakteri memang aman serta lebih efektif dibanding sabun biasa dan air. Produk yang terbukti tak aman dan efektif membunuh kuman sampai akhir 2016 akan didata ulang atau bahkan ditarik dari peredaran. "Saya menduga ada banyak konsumen yang menganggap bahwa dengan menggunakan produk sabun anti-bakteri mereka melindungi diri dari penyakit, melindungi keluarga mereka," kata Wakil Direktur Pusat Obat-obatan FDA Sandra Kweder. "Kami tidak memiliki bukti bahwa (sabun antiseptik) itu benar-benar (efektif melebihi) sabun sederhana dan air," imbuh Kweder. Namun seorang juru bicara produk sabun antiseptik mengatakan FDA punya data yang menunjukkan manfaat penggunaan produk-produk yang menggunakan zat antiseptik ini. FDA memperkirakan perusahaan produsen sabun antiseptik butuh 112,2 juta hingga 368,8 juta dollar AS untuk mematuhi peraturan baru ini, termasuk mendata produk dan menghapus klaim pemasaran melalui pihak ketiga. Aturan baru FDA tidak berlaku untuk produk pencuci tangan yang sebagian besar menggunakan alkohol sebagai bahan anti-kuman-nya alih-alih zat kimia anti-bakteri. FDA akan mulai menerima data dari perusahaan dan para peneliti dalam setahun ke depan, sebelum seluruh aturan diterapkan penuh. Penelitian 40 tahun Desakan untuk mengkaji ulang penggunaan triclosan, triclocarban, dan bahan kimia sejenis untuk sabun sudah mengemuka selama 40 tahun terakhir. Pemerintah Amerika akhirnya hanya mempublikasikan temuan dari "pertempuran" tiga tahun dengan Natural Resources Defense Council, kelompok lingkungan hidup yang menuduh FDA menunda tindakan atas penggunaan bahan kimia yang punya potensi bahaya ini. Triclosan ditemukan di sekitar 75 persen sabun cair anti-bakteri dan pembasuh badan yang dijual di Amerika Serikat. FDA juga mengatakan 93 persen produk sabun mengandung triclosan atau triclocarban. Untuk sementara aturan ini baru berlaku untuk produk kebersihan pribadi. Implikasi lebih luas akan muncul di industri senilai lebih dari 1 miliar dollar AS atau Rp 12 triliun, mencakup ribuan produk antibakteri untuk pisau dapur, mainan, dot, dan pasta gigi. Selama sekurangnya 20 tahun terakhir, tak terhitung perusahaan yang menambahkan triclosan dan bahan sejenis untuk ribuan produk peralatan rumah tangga. Manfaat pembunuh kuman menjadi jurus pemasaran mereka. FDA sudah diminta mengonfirmasi manfaat penggunaan zat kimia untuk sabun antiseptik tersebut pada 1972 sebagai bagian dari UU yang dirancang sebagai pedoman umum produk pembersih anti-bakteri. Pedoman itu tak pernah rampung. FDA kemudian membuat rancangan awal pedoman pada 1978 dan baru rampung Senin ini. Sebagian besar penelitian seputar keamanan triclosan melibatkan hewan laboratorium termasuk tikus. Perubahan homon testosteron, estrogen, dan tiroid, terlihat pada hewan-hewan yang terlibat percobaan. Para ilmuwan khawatir fenomena yang sama juga akan terjadi pada manusia. Bila sampai terjadi, penggunaannya akan meningkatkan risiko infertilitas, pubertas dini, dan bahkan kanker. Para pakar di FDA, Senin, mengatakan penelitian itu belum tentu mendapatkan hasil yang sama pada manusia. Namun mereka mengatakan pula bahwa FDA tengah mengkaji implikasi zat-zat itu pada manusia. Kweder menambahkan, program toxicology nasional sudah lebih dulu mendapatkan fakta bahwa paparan harian zat kimia di kulit dapat memicu kanker. Eropa sudah lebih dahulu batasi penggunaan Pakar lain di FDA mengkhawatirkan pula penggunaan rutin bahan kimia anti-bakteri seperti triclosan ini memberi kontribusi lonjakan varian kuman yang resisten terhadap obat. Kuman super ini membuat obat-obatan antibiotik sekalipun tak efektif. Sebelumnya pada Maret 2010, Uni Eropa sudah terlebih dahulu melarang penggunaan segala jenis bahan kimia antiseptik itu pada semua produk yang bersentuhan dengan makanan, termasuk kotak kontainer makanan dan barang berbahan perak. Juru bicara untuk American Cleaning Institute, organisasi perdagangan produk sabun dan pembersih, mengatakan akan segera mengirimkan data terbaru ke regulator. Tercakup di dalamnya data bahwa produk mereka tak memicu resistensi antibiotik. "Kami bingung bahwa badan tersebut menyampaikan tidak ada bukti bahwa sabun anti-bakteri bermanfaat," kata Brian Sansoni, juru bicara itu. "Industri kami mengirimi FDA data mendalam pada 2008, yang menunjukkan sabun anti-bakteri lebih efektif membunuh kuman dibandingkan dengan sabun non-anti-bakteri," lanjut Sansoni. Kelompok ini mewakili produsen termasuk Henkel, Unilever, Colgate-Palmolive Co, dan Dow Chemical Co. (Palupi Annisa Auliani – kompas.com)