Misteri Penghuni Keraton Merapi (1): Wajib Menyapa 'Kula Nuwun Eyang Merapi'

Birgitta Ajeng

Editor

Misteri Penghuni Keraton Merapi (1): Wajib Menyapa 'Kula Nuwun Eyang Merapi'
Misteri Penghuni Keraton Merapi (1): Wajib Menyapa 'Kula Nuwun Eyang Merapi'

Intisari-Online.com - Berlatar belakang konsepsi tradisional Jawa, Gunung Merapi adalah keraton lelembut tak kasat mata yang memberi kebidupan dan kesuburan pada manusia di sekitarnya. Ia bahkan menjadi simbol kelelakian (lingga) yang mendambakan persatuan dengan Laut Kidul sebagai sang yoni untuk menggali sangkan paraning dumadi (asal usul kehidupan). Terciptalah jalur mistis Merapi – Mataram – Laut Kidul. Namun, kepercayaan ini tak lagi banyak membantu ketika harus menghadapi kenyataan bahwa amukan dan letusan Merapi tetap membutuhkan akal sehat, seperti uraian koresponden Intisari, B. Soelist berikut ini. Inilah kisah Misteri Penghuni Keraton Merapi.

---

Jangan berkata kasar, berpikiran jorok. Jangan lekas marah dan membentak-bentak penduduk jika tak ingin memancing kesusahan. Jangan merusak tanaman, menebang pohon, atau mencabut rumput. Jangan pula memegang kepala penduduk sekalipun itu anak kecil, karena bisa mengundang perkara besar.

Masih belum cukup peringatan itu, seyogianya jangan mengenakan pakaian wama hijau, karena ini warna seragam tentara makhluk halus penunggu Merapi. Kalau kebetulan kepergok binatang aneh, jangan takut lantas berteriak. Ini akan membikin kaget makhluk halus di sana yang tak suka keributan.

Apabila melihat gejala alam yang menakutkan seperti kilat dan petir atau batu menggelinding dari atas gunung, tak usah berkomentar apa pun. Satu lagi peringatan penting. Manakala ada kabut tebal mengalangi pandangan mata, itu pertanda penunggu Merapi belum tahu kehadiran Anda. Maka Anda wajib menyapa, "Kula nuwun Eyang Merapi, kula ingkang sowan nyuwun pepadhang. Silakno rambutmu (Pemisi, Eyang Merapi, saya datang minta selamat. Sibakkan rambutmu)."

Peringatan terakhir, kalau sudah sampai di daerah bebatuan di bawah puncak, sebaiknya lepas sepatu dan berjalan merangkak (laku ndhodhok). Pasalnya, bukit kendit ini dipercaya sebagai pintu masuk halaman dalam keraton Merapi yang harus dihormati. Ingat sikap uga hari, lemah lembut, dan sopan serta hati bersih adalah dasar perilaku roh leluhur kita.

Sederet peringatan di atas bukan sekadar basa-basi, melainkan semacam maklumat tak tertulis yang ditaati sebagian besar penduduk lereng selatan Merapi. Meski ini berlaku bagi siapa pun tak terkecuali, baik pendaki, peziarah yang berkepentingan naik ke sana. Namun, sekarang tak semua orang bisa seenaknya menjejakkan kakinya di gunung berketinggian 2.911 m ini. Bukan karena makhluk halus penunggunya gusar, melainkan gunung berapi tersebut sering memperlihatkan akvitiasnya yang luas biasa berbahaya.

Belum terima wangsit

Gunung Merapi di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ini tercatat sejak 20 Januari 1992 menjadi pusat perhatian. Lelehan lahar panas terus-menerus mengalir ke luar dari mulut kepundan, hingga menyibukkan berbagai kalangan aparat pemerintah. Kondisi yang dianggap mendekati kritis adalah pada tanggal 2 Februari, penduduk 18 desa Kecamatan Srumbung, Magelang, dan kecamatan-kecamatan sekitarnya diperintahkan siap Merapi. Artinya, penduduk di sana setiap saat harus bersiap meninggalkan tanah kelahirannya. Ini semua merupakan indikasi meningkatnya kerawanan bahaya Merapi.

Toh Marijan (81), juru kunci Merapi meramalkan, gunung keramat ini tak bakal meletus sedahsyat dulu. Soalnya, sampai sekarang Marijan belum menerima wangsit akan munculnya gejala alam gunung yang ditunggunya secara turun-temurun ini. "Biasanya utusan Eyang Merapi akan menyampaikan kabar terlebih dulu sebelum mengeluarkan kotorannya," ungkap Marijan.

Ditemui di padepokannya di Desa Kinohardjo, Kec. Cangkringan, Sleman, jugu kunci yang diangkat sejak 1983 oleh Kesultanan Yogyakarta menggantikan almarhum ayahnya ini mengungkapkan, munculnya wangsit bisa lewat mimpi atau langsung berujud manusia renta bicara. Wangsit ini pun bisa singgah ke beberapa penduduk, terutama mereka yang berhati bersih, dalam bentuk perlambang.

"Tapi sampai kini kok kami belum menerima petunjuk," ujar lelaki bergelar bangsawan keraton Raden Ngabehi Suraksohargo ini datar.

Kecuali wangsit, tanda-tanda lain yang bisa dijadikan patokan penduduk adalah munculnya satwa tertentu seperti babi hutan yang mendengus-dengus atau suara auman harimau yang memecah kesunyian desa. Satwa hutan ini diyakini sebagai hewan piaraan Eyang Merapi yang diutus menyampaikan berita datangnya bencana. Itulah sebabnya penduduk menganggap keramat, pantang membunuh binatang itu.

Tanpa bermaksud memamerkan kewaskitaannya, juru kunci ini mengisahkan pengalaman spiritualnya sekitar tahun 1970-an. Ketika itu dalam mimpinya ia diberi tahu supaya penduduk berhati-hati, karena Eyang Merapi akan berjalan-jalan melihat desa-desa sekitar gunung. Penduduk diimbau jangan takut dan tetap diam, jangan keluar dari rumah masing-masing. Seminggu kemudian, Merapi meletus dan laharnya sempat membanjiri sungai dan sebagian menggenangi sawah desa sekitarnya, tapi tak ada korban seorang pun. "Eyang Merapi itu junjungan kami yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Kami tak perlu khawatir asal patuh pada peraturan dan larangan berikut tradisi leluhur," ujar Marijan polos.

Kehadiran wangsit atau wisik setiap kali sebelum gunung ini meletus, diakui Harsowiyono, petugas kehutanan Merapi, sebagai simbol hubungan penduduk dengan alam tidak kasat mata penunggu Merapi. Biasanya wangsit itu berupa perlambang tapi tafsirnya gampang. Sebagai contoh, wangsit serupa pernah diterima almarhum ayahnya beberapa hari sebelum Merapi meletus di tahun 1960-an.

Wangsit itu mengatakan supaya penduduk berhati-hati, tetap diam dan jangan panik kalau ada benang merah menyala di sepanjang Sungai Gendhol di timur desa. "Benang merah yang dimaksud adalah aliran lahar Merapi yang sebelumnya sudah diketahui oleh penduduk setempat," ujar Harsowiyono.

Tulisan ini ditulis di dalam buku Kumpulan Kisah Misteri Intisari tahun 2006 dengan judul asli Misteri Penghuni Keraton Merapi.

-bersambung-