Intisari-Online.com - Berlatar belakang konsepsi tradisional Jawa, Gunung Merapi adalah keraton lelembut tak kasat mata yang memberi kebidupan dan kesuburan pada manusia di sekitarnya. Ia bahkan menjadi simbol kelelakian (lingga) yang mendambakan persatuan dengan Laut Kidul sebagai sang yoni untuk menggali sangkan paraning dumadi (asal usul kehidupan). Terciptalah jalur mistis Merapi – Mataram – Laut Kidul. Namun, kepercayaan ini tak lagi banyak membantu ketika harus menghadapi kenyataan bahwa amukan dan letusan Merapi tetap membutuhkan akal sehat, seperti uraian koresponden Intisari, B. Soelist berikut ini. Inilah kisah Misteri Penghuni Keraton Merapi.
---
Persepsi Gunung Merapi sebagai keraton makhluk halus, memang nyaris mirip pandangan terhadap kekuasaan raja-raja Jawa, yaitu sebagai wakil Tuhan yang berkuasa di dunia. Hanya bedanya, raja Jawa itu kasar mata, sedangan Eyang Merapi itu datan kasat mata alias tidak terlihat.
Apa komentar Ki Juru Permana, penasihat spiritual Keraton Yogyakarta, tentang Merapi? "Tak berbeda dengan Segoro Kidul, Merapi itu juga keraton kajiman (kerajaan jin atau setan). Di dalamnya seperti Keraton Yogyakarta, ada istana, alun-alun, pintu gerbang, jalan, dsb. Begitu juga struktur pemerintahannya, ada raja, patih, tentara, dll," akunya.
Menurut Ki Juru, ketiga kerajaan yakni Mataram, Merapi, dan Segoro Kidul itu memiliki hubungan kekeluargaan. Ini tercermin dalam upacara labuhan, juga dalam kepercayaan rakyat di sepanjang Sungai Winongo dan Progo. Dulu setiap bulan Sura mereka pasti mendengar suara lampor, yaitu barisan makhluk halus berkereta kuda pimpinan Nyai Roro Kidul. "Lampor adalah kunjungan persahabatan antara makhluk halus keraton Segoro Kidul dengan keraton Merapi yang melewati kedua sungai," ujar Ki Juru.
Membicarakan kesakralan Merapi, memang tak bisa lepas dari konsepsi kepercayaan tradisional Jawa pada umumnya. Gunung itu lambang kelelakian dan laut simbol perempuan. Persatuan keduanya mirip konsep lingga - yoni, yakni simbol sangkan paraning dumadi.
Menyinggung pertalian keluarga antara ketiga kerajaan (Merapi - Mataram - Segoro Kidul), menurut Lucas Sasongko, hubungan itu bersifat mistis yang mampu menjamin rasa tenteram raja beserta seluruh rakyatnya. Dengan kata lain konsepsi kepercayaan penduduk lereng Merapi itu sebetulnya suatu bentuk penghormatan terhadap roh leluhur. Penduduk menyelenggarakan selamatan, sesaji labuhan, sebagai gantinya roh-roh leluhur memberikan kesejahteraan lahir batin.
"Jadi, memang ada interaksi jasa antara warga masyarakat setempat dengan roh-roh halus yang dipujanya," tambah Lucas.
Tapi sejak kapan manusia lereng Merapi menghormati gunung keramat tersebut? Apakah sejak munculnya mitos ketika Panembahan Senopati menganugerahkan telur pemberian Nyai Roro Kidul kepada Eyang Sapujagad, penunggu Merapi? Kalau demikian, gampang ditebak, sekitar abad XVI belakangan ini.
"Barangkali tidak. Pemujaan gunung itu sudah lama ada sejak masa prasejarah," ujar arkeolog Drs. D. Suryanto.
Dijelaskan, dalam konsep masyarakat Indonesia asli, gunung dianggap sebagai tempat berdiam arwah para leluhur. Buktinya, banyak sekali bangunan atau kuburan megalit sering dihadapkan ke arah puncak gunung. Kecuali itu, roh leluhur diwujudkan dalam bentuk area yang diletakkan di atas bukit atau di puncak gunung.
"Itu maksudnya untuk memudahkan hubungan batin antara manusia pemuja dengan roh leluhumya," tambah Suryanto. Memang yang kemudian terjadi, konsepsi itu banyak mengalami perkembangan. "Boleh jadi, sistem kepercayaan penduduk lereng Merapi sekarang ini merupakan perkembangan dari konsep lama warisan pendahulu mereka.
Tulisan ini ditulis di dalam buku Kumpulan Kisah Misteri Intisari tahun 2006 dengan judul asli Misteri Penghuni Keraton Merapi.
-selesai-