Intisari-Online.com – Dua kisah nyata itu sekadar ilustrasi betapa hingga abad XX pun kutukan masih dipercaya, bahwa kutukan menimpa keluarga. Ada banyak kutukan lain yang tetap dipercaya kesaktiannya dan ditakuti, semisal kutukan Tutankhamun. Dalam masyarakat kita pun beredar kisah tentang kutukan, seperti dalam legenda Malin Kundang.
Apa sebenarnya kutukan? "Kutukan adalah kalimat yang diberi energi negatif," tutur parapsikolog Danielle. Kutukan biasanya muncul menyertai sebuah perjanjian. "Artinya kalau perjanjian itu dilanggar, pelakunya akan mendapat sanksi. Sanksinya pun bisa hanya diterima oleh si pelaku, bisa juga diteruskan pada keturunannya, tergantung perjanjian."
Dalam khazanah budaya Jawa, sesuai sifatnya, konsep kutukan dibagi menjadi dua. "Sapa untuk yang sifatnya jelek, dan sabda yang sifatnya baik," ujar ahli Jawa Kuno, Manu Jayaatmaja. Kutukan, dalam pengertian bahasa Indonesia, selalu berkonotasi jelek, maka disebut sapa.
Kutukan terkait erat dengan nasib dan eskatologi (hari depan). Ini selalu berproses dalam jalur kinship (kekeluargaan). Dalam pewayangan, tutur pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada itu, hal itu digambarkan dengan sangat jelas. Misalnya kutukan Samba terhadap Bisma, Kalawiya terhadap Dorna, dsb. Selalu berada di garis kekeluargaan, kekerabatan.
Orang atau keluarga yang tahu kena kutukan akah berupaya untuk menghindari dengan melakukan tapa. Tapa secara harafiah berarti "panas” Jadi, melakukan tapa adalah upaya membersihkan sesuatu yang panas dan bernoda.
Orang, bisa tidak tahu ia atau keluarganya kena kutukan. Tapi, tiap komunitas akan dilingkupi oleh leluhur – walau mereka tidak tahu. Pemberitahuan ini melalui berbagai cara, entah wangsit, “bisikan”, atau cara lain.
Pengajar yang sedang menyelesaikan disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, ini membedakan kutukan dengan bala. "Bala adalah kotoran yang 'menempel' pada seseorang karena pernah bersalah, melanggar norma, atau menyalahi tatanan. Hampir mirip dengah kualat, akibat sumpah serapah, dsb." Contoh kesalahan itu, membunuh, mencuri, atau berbuat asusila. Untuk menghindari atau meredam perlu dilakukan upacara, misalnya dengan sesaji dan mantra-mantra.
Tetap riang
Berbeda dengan kutukan yang menimpa satu lingkaran keluarga, ada juga kutukan pribadi. Kutukan pribadi ini sering menimpa orang yang menjadi bagian dari budaya percaya kutukan. Mereka sangat terpengaruh ketika gagal atau tidak mampu mengatasi masalah hidup. Kegagalan yang satu berbuntut pada kegagalan lain. Korban pun mengutuki diri sendiri karena takut dan khawatir tidak akan berhasil dalam hidup. Akibatnya,ia makin terikat pada kegagalan, karena energi yang dilepas hanya untuk menciptakan kegagalan. .
Perasaan terkutuk sering dipakai sebagai cara untuk mencari kambing hitam dari luar, bukan dari dalam dirinya. Ini terjadi manakala si korban kurang percaya diri, dan menderita trauma terhadap masa lalu.
Untuk kasus ini, kutukan menjadi nyata karena korban mengizinkannya terjadi. Caranya dengan bereaksi membangkitkan energi negatif pada beberapg aspek jiwa, misalnya keyakihan, takut, atau rasa bersalah.
Konon kutukan memang berkaitan dengan energi yang bisa diubah-ubah. Dengan latihan, energi bisa dibangkitkan untuk mengontrol emosi, akibat trauma terhadap masa lalu. Latihan untuk mengubah energi negatif menjadi posifif adalah melakukan sesuatu yang disukai. Pijat refleksi, shiatsu, meditasi, terapi aroma, aneka pekerjaan kreatif pun cukup efektif dalam "membebaskan" kekhawatiran atas kutukan.
Perhatikan pula kebiasaan-kebiasaan yang salah dalam hidup, lalu selesaikan masalah satu-per satu. Nasib korban, menurut Danielle, ditentukan oleh dirinya sendiri. "Paranormal pun tak akan banyak membantu. Malah jika kurang hati-hati, ia bisa terperangkap dimanfaatkan oleh paranormal yang akan menguras kantung kliennya."
Danielle tidak mengingkari, paranormal jenis ini memang mampu membaca pikiran klieh hingga mampu memberi informasi yang cukup akurat. "la tahu kliennya, misalnya penakut dan khawatir kejadian buruk bisa menimpanya, sekaligus juga mengukur potensi ekonominya. Lalu,. ia akan mengatakan klien dikutuk dengan menakut-nakutinya, dan diikuti dengan tawaran solusi untuk mengusir, mengganti kesialan dengan keberuntungan, tentu dengan biaya."
Untuk mengubah nasib, korban harus meningkatkan prestasi pribadi dalam hidup sehari-hari. Mulai mengolah keyakinan diri, mempertebal kasih sayang, dan mampu menerima diri sendiri.
"Percayalah, semua yang kaubutuhkan dan inginkan akan datang dengan mudah , bila kamu mengasihi dirimu sendiri dan hidup tanpa takut. Dengan kondisi demikian, tak ada orang ,yang bisa mengganggu," tuturnya sambil memaparkan bahwa kuncinya adalah pengendalian pikiran untuk mengatur emosi dan sikap hidup.
Nilai moral pada cerita kutukan
Melewati rajutan waktu, harus diakui sering sulit membedakan antara kisah nyata dengan "dongeng" yang sudah beredar secara turun- temurun. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sebuah kisah nyata mengalami revisi dan variasi. Misalnya, kisah Rasputin yang konon memiliki beberapa versi.
Tak aneh bila kemudian ada kecurigaan, kisah kutukan di daerah tertentu dibuat untuk tujuan khusus. Sejarawan W.W. Robinson yang pernah menerbitkan sejumlah buku menyebut, ada kutukan yang hanya akal-akalan. Horace Bell penulis kisah mitos terkenal di Los Angeles.
Dr. Tom -Andrews, direktur eksekutif Masyarakat Sejarah Kalifornia. Selatan, mengatakan, kadang sejarawan kesulitan untuk menerima kisah-kisah itu, karena sejarah harus bisa punya bukti.
Namun, menurut dia, meski kadang kisah-kisah itu bukan murni sejarah, tidak berarti harus dibuang begitu saja. "Kisah abu-abu itu cukup diperhatikan sejarawan karena memberikan gambaran tentang budaya pada masa itu."
Cerita-cerita tentang kutukan pun sering memuat nilai-nilai tentang kebenaran. "Mitos menyimpan nilai," ujar Steve Taylor, profesor di Glendale Community College. Ia sering meminta muridnya mencari nilai kebenaran moral dalam berbagai mitos.'' Akhirnya, "Jika sebuah nilai masih relevan dengan kehidupan zaman sekdrang, cerita rakyat yang berkaitari dengan itu pun akan tetap bertahan."
Tulisan ini pernah dimuat dalam Rubrik Maya Intisari edisi September 1999 dengan judul asli "Benarkah Ada Kutukan?".