Intisari-Online.com – Lantaran proses hipnosis tidak gampang dimengerti, banyak orang lalu menganggapnya sebagai magis. Apalagi di pusat-pusat keramaian, ilmu kuno ini suka dipakai untuk menipu orang. Hati-hatilah Anda yang bertemperamen emosional, soalnya terbukti gampang dihipnosis. Hipnosis: bukan sulap bukan sihir, nyatanya banyak orang yang gampang dihipnosis.
--
Di pagi yang dingin di pertengahan abad XIX, empat orang berjalan menuju halaman penjara Brussels. Mereka adalah dr. D yang mendalami hipnosis, Antoine Joseph Wiertz, pelukis kondang asal Belgia, dan dua orang koleganya. Kedatangan keempat orang itu untuk melakukan eksperimen yang tak lazim. Wiertz akan dihipnosis oleh dr. D agar ia mengidentikkan diri dengan terpidana yang akan dipenggal kepalanya dengan pisau guillotine.
Wiertz memang telah lama menyimpan pertanyaan, apakah kepala masih tetap dalam kesadaran penuh saat pisau maut itu menghunjam tubuh dan memisahkan kepala dari badan? Dalam skenario yang disusun rinci oleh dokter, Wiertz akan diperintahkan untuk menenggelamkan diri dalam pikiran kepala orang yang terhukum tadi.
Ketika kepala dipisahkan dari badan si terpidana, Wiertz menunjukkan penderitaan yang luar biasa, sampai meminta agar dibebaskan dari pengaruh hipnosis itu. "Apa yang kau rasakan? Apa yang kau lihat?" tanya dokter. "Hujan petir! (Kepala itu) masih bisa berpikir dan melihat, tapi tak mengerti apa yang baru terjadi. la menderita sekali," jawab Wiertz.
Saksi mata melihat beberapa saat setelah kepala terlepas dari badan, pembuluh nadinya masih berdenyut. Baru setelah beberapa saat kepala itu tampaknya menyadari, ia sudah terpisah dari badan, dan Wiertz pun menjadi lebih tenang. Ketika dokter bertanya lagi, ia menjawab, "Saya terbang bebas ke angkasa seperti di atas pusaran api. Tetapi apakah saya mati? Apakah semuanya telah selesai?"
Mengidentifikasikan diri dengan si terpidana, ia mengaku masih ingat semuanya, dan amat merana mengenang keluarganya. Para saksi mengatakan, kedua mata melotot merana. Kemudian, "Saya melihat kelap-kelip cahaya kecil di kejauhan. Kedamaian menyelimuti saya. Saya akan tidur nyenyak. Betapa bahagia." Itulah kalimat terakhir Wiertz, yang kemudian tidak lagi menjawab meski masih dalam keadaan, trance. Dokter D kemudian menyentuh bagian depan dahi, pelipis, dan gigi. Kepala terpidana dingin. Akhirnya, kepala itu mati juga.
Gambaran eksperimen seperti itu sekarang bisa dilihat di Galeri Wiertz di Brussels dalam bentuk tiga buah lukisan sebuah kepala yang telah tertebas pisau guillotine. Benarkah Antoine Wiertz sungguh menyelam ke dasar perasaan orang?
Tipuan hipnosis
Cara-cara mempengaruhi orang macam cerita di atas bisa dijumpai sampai sekarang. Sebagian menggunakannya untuk membantu penyembuhan. Sebagian lagi malah dipakai untuk menipu. Salah satu korban penipuan itu adalah Ny. Nurdiana Manik. Alkisah, ia ditipu Edo dan dua temannya awal Juli lalu saat keluar dari toko swalayan Hero di Bintaro, Jakarta Selatan. Tiba-tiba saja dia didekati seorang lelaki yang mengaku sebagai orang Malaysia. Setelah berbasa-basi, lelaki itu menawarkan sebuah jam Rolex kepadanya. Awalnya, Ny. Nurdiana tak peduli. Namun, bersamaan dengan itu muncul Edo dan seorang temannya yang mencoba "mempengaruhi" Ny. Nurdiana. Entah kenapa, tiba-tiba ia menuruti kemauan lelaki itu. Ia pun dengan enteng memberikan uang Rp 2 juta plus 65 gram emas yang dikenakannya. Belakangan ketahuan jam Rolex itu palsu.
Adakah Ny. Nurdiana terkena hipnosis? Bisa jadi ya. Kalau begitu ia terjerat ilmu kuno. Soalnya, fenomena hipnosis sebenarnya sudah berakar lama. Oleh bangsa Sumeria, misalnya, selama berabad-abad hipnosis dipakai untuk membuat "tidur" orang yang sakit. Setelah masuk dalam kondisi trance proses penyembuhan dilakukan. Dalam keadaan trance, alam bawah sadarlah yang banyak berperan.
Akibatnya, hampir seluruh pengolahan data di saraf otak pun terjadi tanpa kita sadari. Di Indonesia, secara tradisional masyarakat ternyata juga telah mengenalnya. Misalnya, kehebatan orang Kubu di Jambi dan masyarakat pinggir Sungai Serayu dengan kemampuan gendam-nya dalam menangkap ikan.
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 1998 dengan judul "Hipnosis Bukan Sulap Bukan Sihir".