Intisari-Online.com - Ini adalah pekerjaan gila:menyalin kembali epik Mahabharata yang 100.000 bait itu dalam sebuah media sosial Twitter untuk dibaca khalayak. Tapi berkat kegilaan ini, kini kita bisa membaca kisah Mahabhara lewat cuitan Twitter. Tentu saja nuansanya berbeda dengan saat kita membaca versi cetaknya.
Chindu Sreedharan, si penyalin itu, adalah seorang dosen di Inggris. Kisah pertama memakan waktu empat tahun dimulai dari tahun 2009 dengan kicauan hampir 2.700 kicauan. Tidak hanya menuliskannya dalam media Twitter, Sreedharan juga membukukannya dengan judul Epic Retold. Buku yang diterbitkan pada Desember 2014 itu disebut sebagai fiksi Twitter India pertama.
Kita tahu, epik Mahabharata merupakan salah satu manuskrip penting Hinduisme yang terdiri dari 100.000 bait. Naskah tersebut bercerita tentang perebutan kekuasaan dan peran besar yang dimenangkan oleh Pandara bersaudara. Cuitan Sreedharan sendiri mengambil sudut pandang Bhima, ksatria terkuat di antara Pandawa Lima.
Kini, dosen berusia 41 tahun itu tengah merampungkan seri kedua epik legendaris tersebut. Menggunakan sudut pandang Duryodhana, sepupu Bhima, Sreedharan ingin mengangkat Kurawa tertua itu sebagai sosok anti-hero. ”Menuliskan Duryodhana akan menjadi tantangan, namun saya melihat akhir yang cepat,” ujar Sreedharan, yang mengajar jurnalistik di Bournemouth.
Penafsiran Sreedharan mengenai Mahabharata di Twitter tentu saja berbeda dengan penafsiran konvensional yang selama ini kita pahami. Mahabharata ala Sreedharan bergerak bebas, bahkan sering kali membuat jengkel beberapa pengikut penggemar Mahabharata yang mengikuti kisah Epic Retold. Misalnya sosok Yudhistira, abang tertua Pandawa, yang bagi Sreedharan adalah sosok yang tidak terlalu jujur.
Terlepas dari kepentingan Sreedharan yang melatarinya mencuit Mahabharata via Twitter, kita tetap harus mengapresiasinya. Selain kini kita bisa membaca Mahabharata lewat cuitan Twitter, kita juga mendapatkan kisah Mahabharata dengan kaca mata yang berbeda. Tidak itu-itu saja. (Tribunnews.com)