Intisari-Online.com -Tanggal 30 April diperingati sebagai Hari Film Nasional. Hari ini, tepatnya tanggal 30 April 1950, hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa karya Usmar Ismail dilakukan. Lalu, bagaimana sebuah film diproses? Kapan arsip film nasional dianggap penting? Majalah Intisari pernah mencoba menelusuri jawab tersebut.
Perjalanan sebuah film sungguh panjang. Berawal dari tangan filmmaker alias tim produksi dan para pemain, lalu didistribusikan dan singgah di bioskop-bioskop untuk ditayangkan. Rantai ekonomi terus bersambung dengan melibatkan penonton.
Selesai? Belum. Setelah ditonton, film itu harus dipelihara, disimpan secara benar. Dengan kata lain, diarsipkan.
“Film adalah medium fana yang rentan dan akan hancur jika tidak disimpan dengan cara yang tepat,” tulis Lisabona Rahman dan Zhang Wenjie melalui artikel “Lewat Djam Malam: Recovering a Shared Heritage” dalam booklet Merdeka! The Films of Usmar Ismail Garin Nugroho, 28-31 Mar 2012. “Pengarsipan film dan restorasi masih sangat minim di Asia Tenggara, penting jika institusi dan organisasi-organisasi dari berbagai kawasan bekerja sama menjaga warisan tersebut. Kekayaan film masa lalu disimpan dan dipelihara. Adalah tanggung jawab kita untuk menjamin kekayaan itu tetap ada dan tersedia untuk generasi mendatang."
Pengarsipan yang baik bukan hanya disimpan di tempat yang benar dan dirawat secara kontinu. Pengarsipan dikatakan baik jika dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, agar masyarakat bisa belajar darinya.
“Di mana-mana yang namanya arsip penting. Sebegitu pentingnya arsip sehingga selalu di-cover oleh negara. Arsip pasti penting karena itu tentang Anda, identitas Anda, Anda sebagai manusia, Anda sebagai civilians. Untuk bisa mendesain masa depan, kita kan harus melihat masa lalu. Masa lalu tercatat di mana? Di arsip,” tegas Alex Sihar, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta.
Di Indonesia, kita mengenal setidaknya tiga lembaga yang bertanggung jawab untuk masalah pengarsipan: Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan Sinematek Indonesia. Dua nama yang disebut pertama adalah lembaga pemerintah. Sementara, Sinematek Indonesia adalah lembaga swasta nonprofit yang berada di bawah Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Pernas), seperti disebutkan dalam Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1998, adalah lembaga yang wajib menyimpan karya cetak dan karya rekam di Indonesia. Sedangkan Arsip Nasional Republik Indonesia yang terletak di Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan, sudah mendokumentasikan pelbagai media sejak 1978. Kini, koleksinya mencakup sekitar 60.000 film, terdiri atas film dokumenter, tayangan berita televisi, dan film cerita. Lembaga pemerintah ini juga bertanggung jawab menyimpan arsip film.
Perbedaan kedua lembaga pengarsipan pemerintah itu adalah: Pernas menyimpan arsip-arsip yang sudah terpublikasi, sedangkan ANRI untuk arsip-arsip eksklusif dan unpublished. Dalam struktur kerja lembaga pemerintah, pengarsipan berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara pembinaan perfilman berada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Masing-masing punya “pos” yang jelas. Pertanyaannya, apakah Pasal 39 ayat (3) UU No. 33/2009 Tentang Perfilman sudah dijalankan benar-benar oleh lembaga negara yang bertugas mengarsipkan film tersebut?
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2012 dengan judul asli “Arsip Film Nasional: Kapan Dianggap Penting?”