Intisari-Online.com -Dalam struktur kerja lembaga pemerintah, pengarsipan berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara pembinaan perfilman berada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Masing-masing punya “pos” yang jelas.
Pertanyaannya, apakah Pasal 39 ayat (3) UU No. 33/2009 Tentang Perfilman sudah dijalankan benar-benar oleh lembaga negara yang bertugas mengarsipkan film tersebut? Kalau urusan pengarsipan film sudah ditangani dua lembaga negara, di mana posisi Sinematek Indonesia dalam perfilman Indonesia?
Sinematek Indonesia, sesuai SK Gubernur DKI Jakarta, resmi didirikan pada 20 Oktober 1975. Lembaga yang pembentukannya digagas oleh Misbach Yusa Biran (almarhum) ini merupakan yang pertama di Asia Tenggara yang mengkhususkan diri pada pengarsipan film. Kini memiliki koleksi sekitar 600 judul film dari berbagai negara. Jumlah kopi film mencapai 3.000 buah, terdiri atas film positif dan negatif.
Untuk film Indonesia, dari semua film yang pernah diproduksi, Sinematek hanya memiliki sekitar 1/3 jumlahnya. Koleksi tidak hanya berupa pita seluloid film (16, 35, hingga 70 mm), tapi juga VCD, VHS, Beta, serta piringan hitam.
Dulu, di awal kemunculan, Sinematek disubsidi oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Tapi pada 1978 subsidi dicabut karena Pemda DKI merasa tidak bertanggung jawab membina film. Padahal dalam UU No. 33 Perfilman Tahun 2009 Pasal 54, sudah jelas diatur bahwa pemerintah daerah wajib memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film (poin b).
Berthy Ibrahim, Direktur Sinematek Indonesia, mengatakan, “Kini kita tidak satu rupiah pun dari pemerintah. Ini yayasan, lembaga swasta, hidup dari yayasan dan kepedulian teman-teman ….”
Yayasan yang dimaksud Berthy adalah Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) yang didirikan Gubernur Jakarta (1966 – 1977) Ali Sadikin. Sinematek Indonesia berada di bawah yayasan tersebut. Tugas PPHUI sebenarnya adalah mendukung segala aktivitas Sinematek, juga memasok dana untuk kelangsungan hidupnya.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2012 dengan judul asli “Arsip Film Nasional: Kapan Dianggap Penting?”