Hari Film Nasional: Lembaga Pengarsipan Film yang Ala Kadarnya

Moh Habib Asyhad

Editor

Hari Film Nasional: Lembaga Pengarsipan Film yang Ala Kadarnya
Hari Film Nasional: Lembaga Pengarsipan Film yang Ala Kadarnya

Intisari-Online.com -Meski status kelembagaan ANRI, Pernas, dan Sinematek Indonesia berbeda, mereka memiliki kesamaan, yakni kesulitan untuk memelihara film-film koleksi. Memasuki gedung ANRI, Pernas, dan Sinematek, perasaan yang pertama kali muncul pasti ketertegunan. Ketertegunan mengetahui lembaga pengarsipan film yang ala kadarnya.

Khusus untuk Sinematek, lembaga ini sudah sangat pantas untuk memperluas diri—dalam artian harfiah. Poster-poster film-film lawas, dari mulai Tamu Agung, Pedjuang Kemerdekaan, dan 3 Dara, disusun tidak semestinya karena sempitnya ruang. Banyak pula window sheet dan foto adegan dari film-film lama yang berceceran, karena lemari-lemari tempat penyimpanan sudah tidak bisa menampung.

“Sebetulnya enggak seperti ini menyusun poster. Harusnya berdiri. Kalau begini, semua robek nanti. Tapi karena tempatnya enggak ada kalau untuk disusun berdiri, jadi beginilah...” tutur Budi Ismanto, pemelihara bagian poster film, menunjuk poster-poster di lantai dasar Sinematek yang disimpan dalam keadaan rebah.

Di ruang perawatan, teronggok beberapa mesin editing sumbangan dari Jepang. Tidak terpakai. Para pekerja memilih untuk membersihkan pita-pita seluloid dengan cara manual; mengurai satu per satu gulungan pita, lalu menggosoknya dengan aseton. Kenapa mesin dari Jepang itu tidak digunakan? Mesin besar itu harus diisi penuh, 20 l aseton, baru bisa dioperasikan. Justru boros dan tidak praktis.

Melongok ke ruang penyimpanan film, kita akan mendapati gulungan-gulungan film dalam kaleng (atau dalam kopor dan peti) yang tidak terinventarisasi dengan teratur. Rak-rak berlabel abjad (A, B, C, dst) sudah padat, sehingga koleksi film yang baru datang kerap dibiarkan tergeletak di celah mana pun yang masih tersisa.

Ruang bersuhu rata-rata 9 - 10°C itu terlihat suram. Langit-langitnya berjamur, di beberapa sudut teronggok kaleng berkarat. Lambat laun karat akan menyambar pita-pita seluloid di dalamnya. Jangan lupa, pita-pita seluloid tidak dalam kondisi baru masuk ke ruang penyimpanan.

“Semua koleksi kami pernah diputar di bioskop. Sudah diputar di 21 atas, bawah, bioskop enggak keruan, baru sampai ke tangan kami. Seharusnya, yang sampai di tangan kami adalah fresh copy. Ini juga pemahaman yang salah. Kalau mau memberi arsip, berilah yang baru. Tapi, yang melakukan itu hanya beberapa orang. Salah satunya Teguh Karya,” kata Berthy Ibrahim.

Tapi, masyarakat Indonesia – termasuk pemerintah - tidak dibiasakan berpikir panjang soal pengarsipan. Bisa dipahami, masih banyak hal primer yang harus dipikirkan, seperti BBM, bahan-bahan pokok, kemiskinan, kesejahteraan rakyat. Apalah guna memikirkan yang sifatnya “hanya” tertier seperti film?

Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2012 dengan judul asli “Arsip Film Nasional: Kapan Dianggap Penting?”