Intisari-Online.com -HOS Tjokroaminoto keturunan kiai Ponorogo yang terkenal karena kealiman dan pesantrennya serta kemudian kawin dengan seorang puteri dari Sunan II Surakarta. Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, wedana Kleco, Madiun. HOS putera kedua, saudaranya semua ada sebelas. Ia lahir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau 16 Agustus 1882.
Waktu kecil terkenal nakal. Adik-adik dan kawan-kawannya disuruh masuk ke dalam kurungan ayam atau dinaiki sebagai kuda. Sejak di SR (Sekolah Rakyat) jago berkelahi, kegemarannya main kroyok melawan anak-anak sekolah lain. Karena nakal sering dikeluarkan dari sekolah. Tetapi berhasil juga ia menamatkan sekolah pangreh-praja OSVIA sampai bagian II. Sebentar bekerja sebagai jurutulis Patih Ngawi, lalu merantau ke Surabaya. Bekerja pada Firma Kooy & Co. sambil belajar di HBS sore dan sejak itu ikut dalam pergerakan Boedi Oetomo. Belum juga puas dengan pekerjaannya, ia lalu menjadi leerling masinis dan kemudian bekerja sebagai kemiker pada pabrik gula dekta Surabaya.
Perkawinannya dengan Raden Ajeng Suharsikin puteri Patih Ponorogo pada mulanya tak berhasil memberikan ketenangan jiwa. HOS sering meninggalkan isterinya. Ini menimbulkan bentrokan dengan mertuanya sehingga HOS terpaksa pindah dari rumah mertuanya dengan meninggalkan isterinya yang sedang mengandung. Ayah Suharsikin sampai pada keputusan: puterinya haru cerai dari suami yang “tak bertanggung jawab, tak karuan gerak hidupnya. Jawab Suharsikin: “Baik, saya taat. Tapi seumur hidup tak mau lagi ananda kawin. Karena dunia akhirat suami ananda hanyalah Mas Tjokro semata.”
Mencari HOS pada waktu itu tidaklah mudah. Ia menjadi buruh pelabuhan Semarang mengembara mencari guru agama bahkan bertapa dalam gua. Setelah puteranya yang pertama lahir, ia kembali pada istriny, boyong pindah ke Surabaya. Tentang istrinya yang setia ini, Bung Karno pernah menulis, “Pada saat saya menyatakan hormat dan terima kasih kepada Tjokroaminoto, saya tak mau melupakan Ibu Tjokro yaitu istri Pak Tjokro, seorang wanita yang sungguh luas hati dan luhur budi. Beliau pun meninggalkan kesan yang dalam di kalbu saya ini.”
Enam tahun Bung Karno diasuh oleh Bu Tjokro yang menerima pelajar-pelajar HBS menumpang di rumahnya, sehingga terkenal menjadi semacam asrama “Internat Suharsikin”. Bung Karno, Drs. Hermen Kartowisastro, Dr.Sampurno, Alimin, Muso, Abikusno, semuanya tinggal di internat itu. Bu Tjokro mengerti perjuangan suaminya dan membantu sepenuhnya antara lain dengan berdiri menyelenggarakan rumah tangga sendiri karena dari seorang pejuang seperti suaminya tak banyak yang dapat diharapkan di bidang materiil.