Intisari-Online.com -Perhatian HOS Tjokroaminoto kini ditumpahkan kepada pengorganisasian kaum buruh. Dari semula penderitaan buruh mendapat perhatian penuh. Dalam Kongres 1917 Pak Tjokro berkata “Bagi SI sebagai pelindung si Kromo (si Marhaen) hanyalah tinggal satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kebenaran sehabis-habis daya. Jika semua onderneming masih tetap bertindak secara yang sudah-sudah, kita hendak mempertahankan hak kita sampai pada titik darah yang penghabisan. Apabila kata damai tak dapat diperoleh, maka salah satunya yang harus lebur.”
Jangan salah paham: kini pun banyak pemimpin yang berkata-kata demikian, tetapi ada perbedaan besar dengan masa itu. sekarang tanpa risiko, pada masa itu penuh risiko. Dalam Kongres 1918 lebih tegas lagi, “Menentang pemerintah dalam tindakannya melindungi kapitalisme dan akan menggerakkan semua organisasi bangsa Indonesia untuk menetang kapitalisme. Serikat Islam akan mengorganiser buruh.
Tjokro mendirikan gerakan Djawa Dwipa yang bersemboyan “Sama rasa sama rata, satu menderita semua turut merasa, satu senang semua bahagia”. Gerakan ini mempunya lencana berwujud lingkaran segitiga di tengahnya pohon beringin yang diapit oleh padi. Tidak mustahil, sewaktu Moh Yamin menyusun lambang Bhineka dan Pancasila mendapat ilham juga dari lencana Djawa Dwipa itu.
Anggotanya rakyat jelata. Untuk memberantas kurang harga diri juga ditanamkan oleh kolonialisme lewat feodalisme, para anggotanya saling menegur dalam bahasa Ngoko, bukan kromo. Tjokro sendiri sudah lama membuang gelar Raden Mas-nya. Gerakan Tjokro radikal, revolusioner, dan terarah pada masyarakat. Cita-citanya kemerdekaan nasional dan susunan masyarakat sosialis, “Sosialisme Islam juga bermaksud mencari keselamatan dunia dan juga keselamatan akhirat.” Ia juga menulis buku Islam dan Sosialisme. Kalau menurut rumusan Dr. H. Ruslam Abdulgani, Pancasila adalah aliran sosialis yang ilmiah dan religius, pastilah Tjokro ikut menentukan corak relegiusitasnya itu.