Intisari-Online.com -Kondisi bangsa yang memprihatinkan ini, menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, membutuhkan pemimpin yang mampu memanusiakan manusia. Sehingga, rakyat merasa terayomi, rasa keadilannya terpenuhi, harapan rakyat bangkit kembali untuk hidup sejahtera.
“Human commitment harus dimiliki setiap pemimpin dan wajib dilakukan. Bukan hanya berupa kebijakan atau ucapan vulgar saja. Dengan dalih menolong orang miskin, pemerintah menyediakan kredit, tapi pakai boong. Itu 'kan omong kosong.”
Dalam kapasitas sebagai gubernur, Sri Sultan HB X merelakan tanah kosong milik keraton di daerah pantai selatan untuk dibagikan pada buruh tani yang tak punya tanah garapan, masing-masing 100 m² , supaya mereka punya pendapatan. Para peternak pun menerima bantuan sapi (dalam waktu 3 – 4 tahun sapi itu punya empat ekor anak). Setelah itu, subsidi dihentikan, karena peternak sudah punya aset, sudah tidak prasejahtera lagi. Kalau mau ditingkatkan, silakan pinjam bank. “Tugas saya hanya menolong orang miskin agar punya aset.”
Kebetulan, salah satu perusahaan rokok butuh 1.700 orang untuk buka pabrik di Bantul. “Saya beri izin, tapi karyawan saya yang cari, nanti mereka yang seleksi sesuai kebutuhan.” Lalu Sri Sultan mengerahkan aparatnya, mencari karyawan door to door. Setiap keluarga prasejahtera I sekabupaten Bantul diambil seorang anak wanitanya untuk dipekerjakan. “Lurah dan Camat harus bertanggung jawab. Jika ada KKN dalam proses ini, saya pecat.”
Sri Sultan berpesan, agar mereka bekerja sebaik mungkin karena mereka tulang punggung keluarga. Agar gaji utuh, setiap buruh diwajibkan memiliki rekening di Bank Pembangunan Daerah, sehingga keluarganya bisa mengambil manfaat.
Selain itu, Sultan tak mengesampingkan para petani. Mereka diberi benih unggul, yang kualitas dan panennya tiga kali lipat. Otomatis, mereka tidak prasejahtera lagi.
“Yang penting, aktivitas ekonomi bertumbuh di pedesaan. Terbukalah lapangan kerja baru di level kecamatan.” Tujuannya, kecamatan sebagai pusat pertumbuhan.
Dalam pemahaman Sultan, “Mengabdi pada rakyat berarti memberdayakan rakyat agar tercipta masyarakat mandiri dan kualitatif, yakni masyarakat yang bangkit kreativitas inovasinya.”
Sebagai pemimpin, menurut HB X, kita harus tahu kapan saatnya di depan, di tengah, dan di belakang. “Filosofi saya di Yogya ini, yaitu bagaimana pemerintah membuka peluang, lalu mendorong peluang untuk tumbuh, dan kemudian mem-back-up pertumbuhan itu sendiri.”
Pernah ditulis di Intisari edisi Februari 2004 dengan judul “Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat”