Intisari-Online.com - Kejadian longsor di Kabupaten Karanganyar tahun 2007 yang merenggut 35 korban membuat UGM mengembangkan dan memasang alat pendeteksi longsor. Pemasangan alat dilakukan bersama mahasiswa KKN PPM. Namun untuk pengadaan dan pemasangan alat, masyarakat tidak dikenakan biaya. Selama dua bulan masyarakat diajak ikut pelatihan. Alat itu sendiri hanya difungsikan saat musim hujan saja.Menurut Faisal Fathani, MT, Ph.D. - yang bersama Prof. Dr. Dwikorita Karnawati menciptakan alat tersebut - cara kerja alat ini adalah mendeteksi jarak keretakan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Apabila dalam kondisi bahaya maka alat tersebut akan mengirim sinyal sehingga sirine akan berbunyi sebagai bentuk peringatan dini. Ketika sirine berbunyi, masyarakat biasanya harus waspada dan siap melakukan evakuasi. Suara sirine terdengar hingga radius 500 meter.Hingga saat ini sudah ada 30 alat deteksi longsor yang dipasang di beberapa daerah rawan longsor di pulau Jawa dan luar Jawa. Misalnya di Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, Situbondo, Kulonprogo, dan daerah pertambangan di Kalimantan.Dwikorita menuturkan, penyempurnaan alat deteksi longsor tersebut masih terus dilakukan. Sampai saat ini pempurnaan alat sudah memasuki generasi ketiga dan sudah mendapatkan hak paten dan penghargaan internasional. Diceritakan Dwikorita, alat deteksi longsor generasi pertama telah ditiru dan dipasarkan oleh pabrikan China. “Hal itu terjadi ketika beberapa peneliti asal China kita ajak meninjau lokasi keberadaan alat tersebut di Kebumen,” kata guru besar Jurusan Geologi UGM ini.
Lebih jauh dia menjelaskan, pembuatan alat sudah menggunakan 95 persen komponen lokal. Harga tiga jenis alat deteksi longsor ini bervariasi, menyesuaikan dengan tingkat kecanggihan alat tersebut. “Harganya berkisar antara Rp5 juta hingga Rp20-an juta,” katanya.(Humas UGM)