Intisari-Online.com - Air di lahan gambut bersifat asam (pH 2,7 - 4) dan jika masyarakat mengonsumsinya berisiko mengalami gangguan kesehatan, semisal gigi keropos. Selain itu, air gambut mengandung zat organik ataupun anorganik yang bisa mengganggu metabolisme tubuh. Oleh sebab itu, jika mau dikonsumsi harus dinetralkan (pH = 7) terlebih dahulu.
Penetralan air gambut melalui sejumlah tahapan, meliputi koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dekolorisasi, netralisasi, dan desinfektasi. Untuk itu, periset pada Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ignatius DA Sutapa, merancang instalasi pengolah air gambut (IPAG) menjadi air baku yang sehat untuk dikonsumsi. Menurut Sutapa, alatnya sudah dimanfaatkan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Bengkalis, Riau.
Saat ini, IPAG LIPI diproduksi dengan kapasitas 60 liter per menit, sehingga diberi nama IPAG60. Kapasitas ini mampu mencukupi kebutuhan air bersih 100 rumah tangga.
Air gambut yang berwarna hitam kecokelatan itu mengandung senyawa organik trihalometan yang bersifat karsinogenik (memicu kanker). Juga mengandung logam besi dan mangan dengan kadar cukup tinggi. Konsumsi dalam jangka panjang bisa mengganggu kesehatan.
Air gambut diolah dengan cara koagulasi (diendapkan). Koagulan utama yang digunakan adalah alum sulfat. Koagulan ini digunakan dengan variasi konsentrasi hingga 50 bagian per sejuta (ppm), bergantung pada kepekatan air gambut.
Koagulasi menghasilkan endapan yang ditampung dalam bak sedimentasi. Selanjutnya, air dialirkan untuk disaring dengan pasir silika dan antrasit.Unit filtrasi merupakan saringan pasir cepat. Diameter pasir silika dan antrasit adalah 0,6 - 2 milimeter.
Komposisi media penyaring disusun berdasarkan tingkat efisiensi proses koagulasi. Media filter memungkinkan terbentuknya biofilm mikroorganisme. Ini yang menguraikan polutan organik air gambut yang dialirkan.Untuk menghilangkan bau, warna, dan rasa digunakan penyaring karbon aktif. Dengan ukuran partikel karbon aktif relatif kecil, warna air gambut yang pekat dan mengandung asam humat dapat diserap.
Konsentrasi karbon aktif bergantung pada intensitas warna yang akan direduksi. Kemudian dilanjutkan dengan proses netralisasi tingkat keasaman air menggunakan soda ash. Untuk membunuh bakteri patogen di dalam air digunakan kalsium hipoklorit.
Kualitas air produksinya memenuhi standar kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010. Untuk pengolahan dibutuhkan energi listrik relatif rendah. Energi itu bisa diupayakan dari panel surya.
Biaya produksi air bersih mencapai Rp 15.000-Rp 25.000 per meter kubik. Besar biaya bergantung pada kualitas air gambut yang diolah.
Dipatenkan
Tahun 2012, LIPI menghasilkan tiga unit IPAG60 dan sedang mengerjakan pesanan sebanyak 15 unit. Metode pengolahan air gambut serta kelengkapan peralatannya sedang dipatenkan.
Sutapa mendaftarkan hak paten dengan nomor registrasi P00201000586 ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Klaim patennya mencakup pengolahan air gambut, termasuk ditemukannya kombinasi optimal antara proses netralisasi, pembubuhan karbon aktif, dan koagulasi.
Dari hasil penemuan instalasi pengolah air gambut memungkinkan dibuat sistem pengolah air gambut yang kontinyu dengan produktivitas tinggi. Peralatannya bisa dirancang dalam bentuk kecil dan mudah dibawa.Sutapa merancang IPAG60 bersama peneliti LIPI lain yang tergabung ke dalam Program Kompetitif LIPI, Energi Bersih Terbarukan, dan Pasokan Air Bersih Berkelanjutan. IPAG60 merupakan instalasi pengolah air gambut menjadi air bersih terbesar di Indonesia saat ini.
Saat ini diperkirakan luas hutan dan lahan gambut yang tersisa sekitar 21 juta hektar. Jutaan penduduk di lokasi itu masih memanfaatkan air gambut untuk keperluan sehari-hari, selain air tadah hujan. (lipi.go.id)