Intisari-Online.com- Bahasa daerah merupakan simbol paling sempurna sebagai sarana pengekspresian tata cara, adat, komunikasi sosial, dan pranata sosial. Ia tidak saja mengandung makna, tetapi juga tata nilai sebuah budaya (Dr. Arif Budi Wurianto, Universitas Muhammadiyah Malang). Nah, apa jadinya jika simbol itu terancam punah?Di tengah era kesejagadan saat ini, bahasa daerah mulai ditinggalkan oleh sebagian orang, khususnya di kota-kota besar. Hal itu diperparah oleh minimnya perhatian Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, terhadap bahasa daerah yang menandakan ketidakmampuan menghormati dan memiliki bahasa. Akankah hal-hal itu berlangsung terus dan tidak mungkin diatasi lagi?
Pelajaran bahasa Jawa di SD hanya sebagai materi muatan lokal (mulok). Kedudukannya sama halnya dengan pelajaran Kesenian. Jika posisinya begitu, bisa jadi bahasa Jawa dan tentunya juga bahasa-bahasa daerah pada umumnya tidak akan terangkat kedudukannya sebagai bahasa daerah yang harus dipertahankan hidupnya sebagai sakaguru budaya bangsa.
Keadaannya tambah runyam karena banyak keluarga Jawa yang tidak lagi menggunakan lagi bahasa Jawa sebagai bahasa keluarga. Sekarang ini pemakaian bahasa Jawa di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur - merupakan kantong bahasa Jawa betul-betul memprihatinkan. Kenyataan itu akibat imbas dari mekarnya penggunaan bahasa nasional.
Kenyataan di lapangan, dari hasil penelitian yang pernah penulis lakukan, baik di Surabaya (1984) maupun di Surakarta (1986) terkuak bahwa pemakaian bentuk baur sepertingajarna(mestinyamulang), diprakosa(mestinyadirodhapeksa), ngingatna(mestinyangelingake), dikerjakna(mestinya digarap/ditandangi), sudah begitu membeludak. Ada kesan bahwa generasi sekarang lebih suka menyerap kosa kata bahasa nasional daripada menggunakan kosa kata bahasa Jawa.
Tiga bahasa di SDSituasi penggunaan bahasa di Tanah Air yang lebih mengutamakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah rupanya juga menarik perhatian Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya, I Gde Ardika. "Generasi muda di beberapa daerah kita cenderung lebih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah dalam berkomunikasi. Keadaan ini dikhawatirkan akan melemahkan posisi bahasa daerah." Padahal, yang seharusnya terjadi adalah bahasa daerah bisa memberi kontribusi penguasaan dan pengayaan bagi bahasa Indonesia.
Apa yang "diteriakkan" oleh Menparsenibud perihal tersisihnya bahasa daerah itu diharapkan didengar dan ditanggapi oleh Pemerintah, terutama Mendiknas dan Direktur-direktur Jenderalnya. Perubahan kurikulum yang menempatkan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib disamping bahasa Indonesia dan bahasa Inggris seharusnya segera direalisasi. Pertemuan para pakar di bidang pendidikan, termasuk pendidikan bahasa, ilmu bahasa, dan kebudayaan perlu dilakukan sebagai upaya awal untuk mewujudkan kurikulum baru yang menempatkan bahasa daerah sebagai bahasa keluarga dan bahasa masyarakat daerah.
Pendidikan tiga bahasa sekaligus di SD, tidak memberatkan anak didik. Teori hipotesis usia kritis (critical age hypothesis) yang dicetuskan oleh Lenneberg, menunjukkan bahwa anak-anak pada usia 1,0 - 11,0 memiliki kemampuan untuk mempelajari bahasa apa saja. Ana-anak SD yang berada pada rentang usia kritis ini dapat memanfaatkan peluang untuk menggunakan bahasa-bahasa seperti penutur asli (native speaker)-nya.Tentang hal itu Prof. Soenjono menjelaskan kepada penulis dan kawan-kawan (1996) bahwa mereka dapat menguasai bahasa yang dipelajarinya secaranative, artinya anak mampu belajar dan menguasai bahasa asing dengan aksen-aksen persis seperti penutur asli bahasa yang dipelajarinya itu.
Soenjono menganjurkan agar anak diberi peluang memanfaatkan otaknya yang cemerlang itu untuk mempelajari bahasa-bahasa. Soalnya, menginjak usia 12 tahun anak akan mengalami laterisasi, yakni menurunnya kemampuan otak dalam mempelajari bahasa akibat otak kiri dan kanan sudah memiliki dan menjalankan fungsinya masing-masing. Pengajaran bahasa Jawa dapat memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan kemampuan wicara, terutama dalam kaitannya dengan praktik ber-unggah-ungguh. Kemampuan membaca dan menulis dengan penerapan penggunaan kalimat efektif merupakan peningkatan selanjutnya.
Yang menjadi masalah adalah pemahaman kepada orangtua perihal sangat mangkusnya usia kritis itu bagi pembelajaran bahasa-bahasa. Hipotesis Lenneberg tadi sertidak-tidaknya akan membuka mata kesadaran para pendidik (guru dan orangtua) untuk memanfaatkan masa singkat itu dengan berbagai keterampilan berbahasa. Tentu tanpa mengabaikan keterampilan-keterampilan lainnya. Konggres Linguistik Nasional X tahun 2002 di Bali pun mendukung penguasaan tiga bahasa itu. Bagaimanapun ketiga bahasa itu merupakan sarana untuk berkomunikasi dalam situasi kedaerahan, nasional, dan internasional.
Dengan kenyataan itu, ketiga bahasa akan dapat dikuasai anak secara dini. Kecintaan dan kebiasaan menggunakan ketiga bahasa itu menurut situasi dan kondisinya akan menunjang mereka untuk gemar membaca dan mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya. Yang perlu ditargetkan ialah timbulnya sikap bahasa (language attitude) yang positif terhadap bahasa daerahnya, bahasa nasionalnya, dan bahasa-bahasa asing yang dipelajarinya.
Meskipun ketiga bahasa itu dapat diberikan di semua kelas di SD, pendidik harus mengingat soal pembagian porsi dan wilayah penggunaannya masing-masing. Di dalam suasana rumah tangga/keluarga dan masyarakat kedaerahan bahasa daerahlah yang harus digunakan. Di dalam suasana resmi bahasa Indonesialah yang harus dipakai. Sementara itu, di dalam suasana internasional bahasa Inggrislah yang layak digunakan sebagai alat komunikasi.
Kemampuan siswa berbicara dan menulis dengan menggunakan bahasa daerahnya merupakan modal utama untuk tetap memelihara budaya daerah. Dengan demikian, tradisi-tradisi semacam rembug desa dan sarasehan akan dapat digalakkan. Kesenian tradisional akan lebih digemari karena bahasanya dipahami. Suasana kedaerahan akan lebih dirasakan jika sesekali diselenggarakan berbagai perlombaan seni gerak, lagu daerah, dan pidato. Di samping untuk mengakrabkan warga, lomba-lomba demikian dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa daerah agar bahasa mereka ini tetap lestari.
Kecintaan akan bahasa daerahnya menjadikan mereka lebih mencintai seni dan budaya mereka. Akan tetapi, yang harus selalu diingat ialah bahwa sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia mereka harus tetap menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan bahasa persatuan. Mereka harus pula menyadari kapan saatnya harus berbahasa daerah dan kapan pula saatnya harus menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia. (Kunardi Hardjoprawiro/Intisari)