Intisari-Online.com - Tidak ada satu pun tulisan tangan di dunia ini yang memiliki interpretasi 100% positif atau 100% negatif. Bagaikan dua sisi mata uang, akan selalu terdapat hal yang positif dan negatif sekaligus di dalamnya. Hal yang sama juga berlaku untuk tulisan tangan Afriyani Susanti yang dianalisis oleh grafolog Deborah Dewi (@deborahdewi) berikut ini. Di balik emosinya yang tidak stabil, berlebihan, serta tidak memiliki fokus hidup yang berorientasi pada efek jangka panjang di balik keputusan-keputusannya, toh tetap saja Afriyani memiliki sisi positif sebagai seorang manusia normal. Stigma publik tentang “pembunuh berdarah dingin” yang terlanjur “dilekatkan” pada pelaku tragedi Tugu Tani tersebut sebenarnya agak sedikit berlebihan jika ditinjau dari aspek proyeksi diri Afriyani yang tercermin dari tulisan tangannya. Mengapa demikian? Tidak terlihatnya ekspresi perasaan bersalah pada Afriyani sesaat setelah tragedi tersebut terjadi sangat besar kemungkinannya disebabkan oleh dua hal:
Sisi positif dari pemilik tulisan tangan vertical slant adalah penulis mampu menunjukkan kepeduliannya kepada sekitar tanpa terlihat rapuh. Hal ini membuat keberadaannya dalam situasi yang terburuk sekalipun mampu menguatkan lingkungannya, meskipun pada kenyataannya, di waktu yang sama penulis juga sedang mengalami tekanan. Seringkali karena tidak suka merepotkan orang lain - tanpa disadari - justru mereka selalu mengatasi segala sesuatunya seorang diri. Bagaikan seekor angsa yang tetap terlihat anggun melaju di atas permukaan air, meskipun di waktu yang bersamaan kakinya bekerja keras di bawah permukaan air. Terlihat tenang tidak sama dengan tenang.