Intisari-Online.com - Upaya menjaga hutan memang tidaklah murah. Tidak hanya secara materi, terkadang adat-istiadat juga turun menjadi korban. Hal tersebutlah yang dialami Dayak Iban Sui Utik.
Suku Dayak Iban memiliki suatu kebiasaan, bahkan bisa disebut budaya, yaitu bajalai. Budaya ini mengharuskan seorang pemuda Dayak yang beranjak dewasa untuk merantau, dengan tujuan Malaysia atau Brunei Darussalam. Jadi, semacam inagurasi kedewasaan pemuda Dayak.
Nah,selama perjalanan, pemuda tersebut akan membuat tato (rajah) di tubuh mereka. Jangan membayangkan motif yang kontemporer seperti sekarang, tato mereka bermotif bunga terung atau ketam.
Sayangnya, dikarenakan upaya melindungi hutan, bajalai mulai ditinggalkan. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan hutan adat mereka dibanding merantau ke luar. Tidak diketahui pasti kapan pastinya bajalai mulai ditinggalkan. Namun, mungkin dapat diperkirakan dengan hanya ditemuinya tato bermotif bunga terung dan ketam di tubuh Suku Dayak yang sudah berusia 70 tahun ke atas.
Penduduk yang berusia 40 - 50 tahun biasanya menggunakan motif tato modern, namun masih bercampur dengan budaya Melayu dan Tionghoa. Sedangkan mereka yang berusia 20-30 tahun, tato mereka menggunakan motif dayak, namun sudah diberi sentuhan modern alias terpengaruhi kebudayaan barat.
Memang, dengan lebih memilih untuk tinggal di desa, hutan adat jadi lebih terjaga. Bahkan, pada 2008 mendapat sertifikat ekolabel hutan lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Walau, pada akhirnya budaya bajalai harus ditinggalkan. (Majalah Jejak)