Intisari-Online.com - Menurut dugaan sebuah sumber, anting-anting merupakan "evolusi" dari sumbat telinga yang lazim dikenakan oleh masyarakat tradisional sebagai ornamen telinga. Sumbat telinga yang pernah ditemukan pun terbuat dari berbagai bahan, misalnya di kediaman suku Ainu di Jepang bagian utara ditemukan sumbat telinga dari kain, sedangkan suku Maya di Amerika menggunakan sumbat telinga yang beragam bahannya, seperti giok, bebatuan, tulang, kerang, kayu, dan logam, dengan berbagai ukuran.
Kita tahu masyarakat Berawan di Kalimantan pun mengenakan sumbat telinga yang berdiameter 9,5 cm, sedangkan milik suku Masai di Afrika Timur bergaris tengah 11,4 cm dan berat hingga 1,3 kg!
Namun, tak tercatat sejak kapan persisnya anting-anting itu dibuat. Sebegitu jauh, baru anting-anting yang ditemukan di Ur, Mesopotamia, yang dilabeli anting tertua. Anting dari masa 3500 SM itu berbentuk seperti cincin besar berpinggiran tipis. Diduga, bentuk cincin itu merupakan bentuk asal anting-anting. Selain dari Mesir, model yang sama muncul pada masa awal berdirinya bangsa Yunani (2500-1600 SM). Malah bangsa berbudaya seni tinggi itu pula yang memperkenalkan satu bentuk anting yang serupa, bulan sabit. Melimpahnya persediaan emas di masa jayanya, membuat Yunani (600-475 SM) menghasilkan anting-anting emas yang canggih. Misalnya, yang berbentuk perahu lengkap dengan manusia sebagai penumpangnya.
Meski anting-anting gantung dengan panjang mencapai bahu populer pada akhir masa klasik (475-330 SM), tetap saja bentuk cincin lebih banyak dipilih. India, misalnya, membuat model serupa namun berukuran lebih besar menjelang berakhirnya abad 1 SM. Tak cuma itu, sebuah lukisan di Cina dari abad VII pun menggambarkan beberapa wanita mengenakan anting-anting cincin.
Tapi anting-anting sempat tenggelam dari sejarah peradaban manusia, terutama di Eropa, kira-kira abad XVII, XVIII, dan XIX. Penyebabnya, tak lain munculnya gaya rambut, rambut palsu, dan hiasan kepala yang menutupi telinga. Namun, ketika ditemukan anting jepit, juga cara melubangi daun telinga yang tidak sakit, di abad XX anting-anting berjaya kembali.
Sebagai aksesori, anting memang sering dipandang sebagai perhiasan eksklusif kaum wanita, seperti pada masyarakat di Asia bagian barat -termasuk Israel dan Mesir Kuno. Namun, kenyataannya, di Yunani dan Roma Kuno, misalnya, pria beranting dapat segera dikenali sebagai pria dari Timur, misalnya Timur Tengah. Malah, kaum pria Eropa pada masa Renaissance (1400-1600) dan Barok (1500-1750) pernah suka mengenakan anting sebelah. Lucunya, di abad XVII dan XVIII, mereka menambahinya dengan mutiara. Pemicunya, konon karena Pangeran Inggris Charles I yang selamat dari tiang gantungan dengan menggunakan anting semacam itu.
Selain mutiara, telah sejak lama berbagai batu permata pun digunakan untuk menyemarakkan model anting-anting.Seperti kecubung, pirus, akik, dan jasper yang diikat emas dan perak pada anting-anting kaum wanita Mesir. Lain lagi dengan masyarakat India yang memasukkan perunggu dan emas, serta memadatinya dengan mutiara dan batu-batuan.
Setelah platina diperkenalkan untuk pengikat batu permata, pada 1920-an ditemukan cara budidaya mutiara. Terlebih saat makin berkembangnya proses produksi plastik. Hasilnya, setelah PD II, membanjirnya anting-anting maupun giwang warna-warni yang tak kalah kilauannya dengan batu permata asli. Anting-anting terus berkembang, dari fungsi semual sebagai jimat, menjadi asesori untuk memenuhi dorongan untuk berhias yang tampaknya berlaku universal. (Intisari)