Intisari-Online.com - “Dua anak cukup!” Ungkapan itu akrab dengan program Keluarga Berencana (KB) yang sering muncul pada tahun 1990-an. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 179 juta jiwa (1990), Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Pemerintah pada saat itu pun mencoba untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduknya. Tentu saja program tersebut tidak terlalu asing. Namun, tahukah Anda sejarah KB?
Istilah KB sendiri, untuk di dunia internasional di kenal dengan birth control. Sebuah istilah yang secara khusus diciptakan (sekaligus dipopoulerkan) oleh Margareth Sanger, seorang wanita berkebangsaan Amerika Serikat.
Pada saat Sanger memperkenalkan KB, berbagai pro dan kontra bermunculan. Salah satunya mengenai pemisahan antara istilah hubungan seksual dengan reproduksi telah cukup menimbulkan kontroversi.
Di masa peradaban awal, berdasarkan catatan-catatan kuno, manusia mulai melakukan usaha mencegah dan mengatur waktu kehamilan dengan menggunakan “alat kontrasespsi” dari bagian-bagian tumbuhan dan hewan. Biasanya digunakan langsung pada alat kelamin, baik pria maupun wanita.
Misalnya saja penggunaan madu, susu, atau kotoran buaya oleh Bangsa Mesir yang dioleskan secara langsung pada alat kelamin wanita sebelum dilakukannya hubungan intim. Sedangkan untuk sang pria, usus binatang (babi misalnya) mereka gunakan sebagai kondom (salah satu awal perkembangan kondom yang kita kenal saat ini).
Theophrastus, seorang ahli botani Yunani kuno, membuat catatan tentang tumbuhan-tumbuhan yang digunakan sebagai alat kontrasepsi (bahkan beberapa di antaranya menjadi alat aborsi). Tumbuhan utama yang digunakan adalah silphium. Tumbuhan ini sudah punah sejak 2.000 tahun yang lalu.
Proses sterilisasi juga dianggap sebagai bagian dari upaya KB oleh penghuni bumi di abad ke-7 SM. Terlihat dari tulisan Sun Ssu-mo yang menyatakan bahwa pada saat itu, dengan tujuan untuk melakukan sterilisasi, para wanita Cina meminum minyak dan air raksa yang dipanaskan secara bersamaan.
Untung saja ada cara yang lebih “aman”, seperti yang disampaikan Master Tung-hsuan. Mereka hanya melakukan coitus reservatus dan coitus obstructus. Pria dan wanita tetap melakukan hubungan intim, namun berusaha selama mungkin untuk tidak mengeluarkan sperma di dalam.
Ternyata tidak semua peradaban menerima konsep KB. Eropa pada abad ke-12 misalnya. Saat benua tersebut mengalami wabah penyakit yang dimulai tahun 1348, masyarakatnya melakukan sebuah upaya repopulasi, mengembalikan populasi yang hilang akibat wabah tersebut.
John M. Riddle menyebutkan bahwa pada saat itu pihak gereja bekerja sama dengan kerajaan mencoba untuk menghilangkan pengetahuan tentang KB. Salah satunya dengan membunuh para penyihir dan bidan.
Mengenai keterkaitan para penyihir dengan KB, Jerman memiliki cerita sendiri. Tahun 1475, Paus Innocent VIII dalam bukunya The Malleus Maleficarum menuliskan bahwa para penyihir tidak hanya memiliki kemampuan untuk membunuh bayi, mereka juga mampu menghilangkan alat kelamin pria (hhmm, untuk para ibu yang suaminya selingkuh, berminat untuk menghubungi para penyihir tersebut?)
Untuk saat ini, program KB lebih diterima oleh masyarakat. Selain itu, perangkatnya pun lebih aman dan beragam. (*)