Indonesia Menggeliat Melawan Kanker

Lily Wibisono

Editor

Indonesia Menggeliat Melawan Kanker
Indonesia Menggeliat Melawan Kanker

Intisari-Online.com - Pagi itu (Sabtu 12/5/2012), terjadi perhelatan besar di kompleks pabrik PT Sanbe Farma di Cimareme, Padalarang, Bandung. Kompleks seluas 18 ha itu cerah sumringah. Ratusan panitia berjas hitam, penari-penari nan cantik yang membuka acara dengan tarian tabuh tambur nan rancak, 800-an hadirin, dan sambutan-sambutan dari para pejabat, semuanya berfokus pada bangunan di sebelahnya. Tepatnya, kegiatan kerja di dalam bangunan itu, yang bernama: Oncology Plant. Inilah rupanya kebanggaan terbaru Yahya Santosa, Preskom PT Sanbe Farma.

Tak perlu dipertanyakan bahwa rasa bangga itu amat sah, mengingat fasilitas onkologi ini bukan hanya menjawab kebutuhan nasional. Melengkapi prestasi lumayan bagus dari industri farmasi nasional yang telah berhasil memenuhi 90% kebutuhan pasar farmasi di negeri kita, fasilitas onkologi yang diresmikan 12/5 ini adalah yang pertama di Indonesia. Hadirnya dua pejabat tinggi pemerintah dalam acara tersebut sepertinya memberikan petunjuk betapa pemerintah jua berharap besar pada peran swasta dalam perjuangan bersama membela kesehatan rakyat.

Sediaan obat antikanker memerlukan fasilitas khusus. Persyaratan produksinya sangat ketat, termasuk mencakup aspek perlindungan terhadap personel, lingkungan, dan produk, sehingga jelas saja kalau membutuhkan investasi besar. Mencapai AS $20 juta dollar, kata Yahya dalam sambutannya. Kalau dirupiahkan setara dengan Rp 180 miliar. Targetnya, akhir tahun ini obat kanker modern yang menggunakan bahan baku lokal ini sudah bisa diproduksi. Meskipun diproduksi dengan standar internasional, tapi “harganya terjangkau oleh semua kalangan,” begitu janjinya.

Kanker serviks makin “berjaya”

Modern, tapi berbahan baku lokal, dan karena itu harganya bisa terjangkau, barangkali itu urut-urutan logikanya. Sebuah angin sejuk yang menyegarkan. Menurut WHO pada tahun 2030 akan terjadi lonjakan jumlah penderita kanker sampai tujuh kali lipat. Di Indonesia, menurut HPV and Cervical Cancer in the World 2007 Report (jurnal resmi International Society for Vaccines) setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks, dengan angka mortalitas 7.500 lebih.

Pada tahun 2012, dapat diperkirakan angkanya sudah lebih tinggi. Bahkan ada sumber yang mengklaim, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks tertinggi di dunia. Mengingat penderita kanker serviks ini masih utamanya berada di kalangan sosial ekonomi lemah, sebuah pabrik obat antikanker “made in Indonesia” tentu memberikan harapan lebih lebih baik kepada para penderita.

Fasilitas onkologi Sanbe didesain untuk memproduksi sediaan obat antikanker yang berupa injeksi cairan dan liofilisasi (pengeringan dengan proses sublimasi-Red). Ia juga telah mendapatkan sertifikatCara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk Fasilitasi Injeksi Liofilisasi dan Cairan Steril Onkologi dari Badan POM.

Seberapa modernkah fasilitas onkologi yang diresmikan tak kurang oleh Wakil Menteri Kesehatan RI Prof Dr Ali Gufron Mukti dan Ketua DPR-RI Marzukie Alie? Pertama-tama, dimensi ukur ruangnya dulu. Sanbe Oncology Plant mempunyai luas bangunan 3.000 m2. Dalam sistem kerjanya, diterapkan Unit Isolator (pertama di Indonesia) yang mencakup pula mesin produksi secara inline di dalam proses produksi. Unit Isolator adalah area yang steril dan kedap udara, dengan filter rangkap berukuran 0,22 mikron (ukuran kuman adalah 1 – 2 mikron; 1 mikron = sepersejuta meter – Red.).

Terintegrasi dengan Unit Isolator ini adalah mekanisme Rapid Transfer Port (RTP). Unit isolator dan RTP akan menjamin perlindungan terhadap karyawan dan lingkungan dari paparan produk. Karena RTP adalah sebuah sistem tertutup, sterilisasi dapat terjaga.

Isolatornya sendiri disterilkan dengan menggunakan hidrogen peroksida. Keluar masuknya barang dilaksanakan dengan sistem RTP. Pengecekan terhadap kebocoran dilakukan dengan mesin khusus. Bahan baku dari pemasok disimpan dulu di gudang karantina sebelum mendapatkan persetujuan lulus dari bagian Quality Control; sedangkan bahan sitotoksik disimpan dalam lemari terpisah dan selalu terkunci. Temperatur dan kelembapan udara selalu dijaga.

Bahan baku impor

Oncology Plant juga dilengkapi fasilitas laboratorium kimia dan mikrobiologi. Laboratorium Quality Control mengecek kualitas obat sebelum dipasarkan. Bahkan sistem pengolahan air dan pengolahan limbahnya pun dilakukan tersendiri.

Meski “bintang”nya Oncology Plant, pagi itu, Wamenkes Prof. Dr. Ali Gufron Mukti yang dalam sambutannya berbangga karena dominasi produk lokal dalam industri farmasi Indonesia, bersama-sama dengan Ketua DPR-RI Marzuki Alie dan Yahya Santosa juga meresmikan pabrik Non-Beta Laktam, R & D Center dan Unit Amal Cuci Darah, Santosa Hospital, Bandung. Perhelatan ditutup dengan acara perletakan batu pertama secara simbolis pembangunan pabrik biologi (direncanakan selesai 2013), pabrik bahan baku Hydroxy Ethyl Starch (belum dibangun), dan Santosa Hospital Bandung Kopo (sedang dibangun)

Dalam hal konsumsi obat, Indonesia sebenarnya masih tertinggal ketimbang negara-negara lain di ASEAN. Salah satu penyebab yang dituding adalah daya beli masyarakat. Selain itu, masih ada ketergantungan yang amat besar pada bahan baku impor, terutama untuk pembuatan antibiotik. Padahal, sebagai negara yang menghadapi berbagai penyakit infeksi, antibiotik merupakan kebutuhan obat mendasar di Indonesia. Impor bahan baku obat rentan terhadap perubahan harga, kualitas, dan kesinambungan pasokan. Jadi , obat merupakan komoditas berfungsi sosial dan menentukan hidup orang banyak.

Saat ini, 96% bahan baku obat masih diimpor. ”Bahan baku obat yang terbanyak diimpor adalah untuk antibiotik. Obat itu banyak dibutuhkan masyarakat,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Kendrariadi Suhanda di sela acara pameran niaga bahan baku farmasi terbesar pertama di ASEAN, Convention on Pharmaceutical Ingredients Southeast Asia di Jakarta International Expo, Kamis (10/5/2012), seperti dilaporkan dalam situs Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia.Penyebab ketertinggalan lain, diungkapkan oleh Direktur Utama PT. Kimia Farma (Persero) Tbk, Syamsul Arifin, pada sambutannya usai penandatanganan nota kesepahaman bersama dengan Rektor UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D di R. Sidang Pimpinan UGM, Desember 2011. Dilaporkan oleh situs Fakultas Farmasi UGM, Syamsul Arifin menyinggung soal antara lain masih banyaknya penelitian berbasis kimiawi dan bioteknologi di tingkat perguruan tinggi yang belum dikembangkan pada skala industri. Bahasa gampangnya, antara dunia perguruan tinggi dan industri belum nyambung.

Sebaliknya, industri farmasi enggan memproduksi bahan baku obat di dalam negeri. Memproduksi bahan baku obat di dalam negeri dianggap belum efektif dan belum ekonomis. Saat ini, 96 persen bahan baku obat diimpor terutama dari China dan India, dengan kata lain hanya 4% bahan baku obat diproduksi dalam negeri. Walaupun, produksi obat sudah 90% di dalam negeri. Impor bahan baku obat terutama untuk bahan aktif dan bahan tambahan.

Gebrakan yang dilakukan oleh Sanbe, a.l. peresmian Oncology Plant-nya, juga rencana pembangunan pabrik bahan baku, R & D Center,dll. tampaknya menunjukkan upaya serius pihak Sanbe untuk menjawab pelbagai tantangan industri farmasi di Indonesia.Sementara itu, cita-cita masyarakat sih simpel saja: bagaimana memperoleh obat yang manjur dan terjangkau? Bagaimana dapat mencapai situasi di mana kalau seseorang jatuh sakit, apalagi kanker, lalu mengupayakan pengobatan, ia tak merasa seperti “sudah jatuh tertimpa tangga pula”?