Intisari-online.com Walau pertama kali ditemukan di Maluku, kegunaan cengkih yang terbesar justru terjadi di Pulau Jawa. Ketika beberapa petani Jawa di akhir abad ke-19 yang sedang merokok tembakau iseng menambahkan cengkih pada rokoknya. Ternyata rokok terasa lebih “nikmat” karena memberikan aroma khas cengkih, rasa panas dan sifat mengkeretek (bunyi “keretek-keretek” saat rokok terbakar).
Keisengan ini akhirnya membuat cengkih lebih dikenal sebagai bahan baku rokok, terutama rokok keretek. Mulai saat itu, industri rokok keretek di Indonesia berkembang pesat. Bahkan, Indonesia yang sebelumnya menjadikan cengkih sebagai komoditas ekspor, sempat beralih menjadi importir cengkih karena produksi cengkih dalam negeri tidak lagi mencukupi.
Oleh karenanya, pada tahun 1970, ditetapkan program swasembada cengkih. Dalam 20 tahun, luas areal perkebunan cengkih meningkat dari 82 ribu hektar (1970) menjadi 692 ribu hektar (1990), hampir 900 persen. Tapi “keberhasilan” tersebut tidak membuat petani cengkih senang karena harga cengkih juga “berhasil” turun.
Industri rokok keretek, pihak yang mendorong program swasembada, ternyata memang tetap menjadi konsumen nomor satu dari produksi cengkih nasional. Meski Indonesia menghasilkan dua pertiga cengkih dunia, terakhir sebanyak 110 ribu ton, 90% diantaranya diserap oleh industri rokok keretek dalam negeri. Dengan kata lain, Indonesia menjadi produsen sekaligus konsumen cengkih terbesar di dunia.