Intisari-Online.com - Anda pernah mendengar istilah digiscoping? Bagi Anda yang bird watcher (pengamat burung) tentu nama itu tak asing lagi. Digiscoping bisa diartikan sebagai teknik mengambil foto dengan memanfaatkan perbesaran maksimal binokuler atau monokuler. Caranya cukup sederhana, yaitu dengan meletakkan kamera dan membidik sasaran melalui lensa okuler. Kameranya pun bebas, apa pun bisa digunakan.Sifat burung yang sensitif terhadap rangsangan gerakan dan kehadiran makhluk asing, serta hinggapnya yang acap di pohon-pohon tinggi, membuat digiscoping laku diaplikasikan. Pun, menurut Lukman Nurdini dari komunitas Sarang Burung Surabaya, teknik ini biasa digunakan untuk menyiasati kemampuan kamera yang terbatas. Keterbatasan itulah yang biasanya membuat kualitas foto tak terlalu bagus. "Kadang blur atau noise. Tapi yang penting ada bukti fotonya," jelas Lukman.Cara yang lazim digunakan pengamat burung ini tentu memudahkan mereka untuk mengambil gambar burung-burung yang berjarak jauh dengan pengamat. Namun, pemakaiannya sering ditujukan untuk mengamati burung (objek) yang sedang diam atau istirahat. Untuk memotret burung yang sedang terbang bebas menggunakan digiscoping malah justru akan menambah kendala.Bagi pengamat burung, alat yang diperlukan tentu tak hanya kamera, tripod, monokuler atau binokuler. Tapi juga buku catatan dan buku panduan. Buku catatan ini digunakan untuk mencatat identifikasi burung yang berhasil diamati. Baik dari sketsa sampai kelengkapan keterangan lainnya, semacam bentuk tubuh dan warna. Nah, buku panduan akan membimbing para pengamat untuk menentukan jenis burung yang telah diamati. Di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), misalnya. Menurut Lukman, kebanyakan burung di Pamurbaya adalah burung air. Salah satu yang sering dijumpai di sana adalah kuntul.Tertarik menjadi pengamat burung?