Intisari-Online.com - Bagi para pecandu film, nama Charlie Chaplin (1889-1977) mungkin sudah tak asing lagi. Di masa hidupnya yang panjang ia telah melahirkan karya-karya yang terus dikenang orang sepanjang masa. Para pengamat film bahkan menahbiskannya sebagai seniman film terbesar nan serba bisa yang pernah hidup. Ia bukan saja aktor film, namun juga sutradara, penulis naskah dan skenario, produser, musikus, serta komponis.
Ada satu masa dalam hidupnya (1910-1920) ketika ia pernah dianggap sebagai orang yang paling masyhur di seantoro jagat. Chaplin lahir di London tanggal 16 April 1889. Pada usia sembilan tahun ia sudah muncul di panggung. Tahun 1913 ia hijrah ke Amerika Serikat dan menjadi aktor di perusahaan film Keystone. Selama periode ini ia sudah mulai menulis naskah dan menyutradarai beberapa film yang dibintanginya.
Tahun 1915 ia bergabung dengan perusahaan film Essanay. Setahun kemudian ia juga bergabung dengan perusahaan film Mutual. Dua tahun berselang ia mulai memproduksi film-filmnya sendiri yang dirilis oleh First Nasional dan United Artist. Yang terakhir ini merupakan perusahaan film yang didirikannya bersama beberapa orang.
Seusai Perang Dunia II, ketika Amerika dilanda fobia terhadap komunisme, Chaplin dituding sebagai simpatisan komunisme. Tak ayal, jika kemudian ia pun pernah terusir dari negeri Paman Sam. Selanjutnya ia menetap di Swiss hingga akhir hayatnya, 25 Desember 1977. Sementara beberapa filmnya yang terakhir dibuat di Inggris. Ia juga memperoleh gelar bangsawan dari Kerajaan Inggris pada 1975.
Yang tak kalah penting, ia pernah bertandang ke Indonesia (waktu itu masih bernama Hindia Belanda) di tahun 1929. Kunjungannya ini berlanjut di tahun 1932 dan 1936 ketika ia sempat menyinggahi Garut dan Bali.
Pada tahun 1972 dunia perfilman Amerika memulihkan nama baiknya. Mereka menganugerahi Chaplin. Penghargaan serupa sebenarnya pernah diterimanya pada tahun 1929 untuk filmnya The Circus.
Oleh banyak kalangan film-film Chaplin dikategorikan bergenre komedi. Tetapi tak sedikit di antaranya yang bernuansa melodramatik, sarat kritik sosial dan pesan-pesan kemanusiaan. Hal ini tampak dari beberapa film terpentingnya yang diputar di Bentara Budaya Jakarta beberapa waktu lalu. Film-film itu antara lain: The Gold Rush (1925), The Circus (1928), City Ligts (1931), Modern Times (1936), The Great Dictator (1940), dan Limelight (1952).
Dalam film-filmnya Chaplin selalu tampil sebagai “The Tramp”, sang gelandangan. Dengan memerankan tokoh gelandangan, Chaplin mendapatkan perspektif yang tepat untuk “berbicara” dan menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya. Di sinilah bagaimana film-film Chaplin yang sering secara gegabah dianggap sebagai film komedi itu menunjukkan semacam ironi.
Film Modern Times, misalnya, menunjukkan secara telanjang kehidupan manusia modern yang penuh paradoks dan ketegangan. Dalam film itu, Chaplin memainkan peran sebagai seorang buruh di sebuah pabrik. Di sana ia diharuskan bekerja tanpa henti. Sekalipun ada waktu istirahat, Chaplin didesak atasannya untuk terus kembali bekerja.
“More speed (lebih cepat)!” begitu perintah atasannya untuk memacu hasil produksi lebih banyak. Dengan begitu, para pekerja harus senantiasa patuh dan taat aturan main.
Satir dari persoalan pelik industrialisasi ternyata bisa menghibur tanpa penonton kehilangan pesan moral yang ingin disampaikan Chaplin. Film ini dibuka dengan tulisan, “A story of industry, of individual enterprise—humanity crusading in the pursuit of happiness”.
Sementara City Lights, filmnya yang paling akhir, menyuguhkan alur cerita yang sangat emosional sekaligus puitik. Banyak penonton yang tersentuh melihatnya. Begitu pula dengan film-filmnya yang lain.
Orang boleh-boleh saja menganggap film-film Chaplin sebagai film komedi. Padahal ia justru telah melampauinya.