Intisari-Online.com - Ketika Intisari mengunjungi Yogyakarta beberapa waktu lalu, tampak Tugu Yogyakarta sedang dibungkus terpal dan dipagari dengan seng. Ikon kota Yogyakarta ini masih malu-malu, menunggu waktu menunjukkan keperkasaannya memancar di tengah Kota Yogyakarta.
Pada tahun ini, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melalui Dinas Kebudayaan memang sedang melakukan revitalisasi lima bangunan cagar budaya yang tersebar di sejumlah tempat. Tugu Yogyakarta menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang kebagian jatah dipercantik. Selain itu, ada bangunan Warung Sate Puas, Pura Pakualaman, Masjid Pathok Negoro Mlangi, dan Benteng Vredeburg.
Tentang budaya Yogyakarta sepertinya tidak pernah habis menjadi bahan cerita. Keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadingrat menjadi alasan utama kayanya unsur budaya di kota ini. Hal itu juga yang membuat Yogyakarta tetap menyandang statusnya sebagai Daerah Istimewa.
Melihat sejarahnya, Yogyakarta termasuk salah satu kota yang tidak dibangun Belanda secara keseluruhan. Inti kota dibangun terlebih dahulu oleh Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Kota lain dibangun oleh Belanda untuk kepentingan khusus, misalnya dagang dan militer.
Menurut Setyoko, pengamat kebudayaan Yogyakarta, Solo dan Yogyakarta dibangun untuk kepentingan politik, yaitu kekuasaan Keraton Mataram. Dua duanya dibangun oleh orang yang sama. Surakarta dibangun Mangkubumi yang kelak menjadi HB I. “Karena menjadi arsitek keraton kakaknya, beliau juga yang mengarsiteki kerajaannya sendiri ketika menjadi Raja di Yogyakarta,” Yoko mengisahkan.
Dahulu, Yogyakarta adalah wilayah alas atau hutan. Ada tiga hutan utama, yaitu Alas Beringan, Garsito Wati, dan Mentauk.Konsep dasarnya terpengaruh pada kebudayaan Hindu yang dipakai pula pada pewayangan. “Sebuah kerajaan itu seharusnya menghadap pada sebuah gunung yang tinggi, membelakangi laut yang luas, kirinya persawahanan, sebelah kanannya adalah pusat perdagangan.” Maka dipilihlah lokasi Keraton seperti yang sekarang ini.
Pokok utama yang menjadi dasar pemikiran pembangunan Keraton adalah harmonisasi antara alam, manusia, dan Tuhan. Pengejawantahan realisasi ini adalah poros Pantai Parangkusumo, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu, dan Gunung Merapi.
Panggung Krapyak dibangun berbentuk kotak. Bentuk kotak melambangkan keduniawian. Bulat itu keseimbangan antara sifat keduniawian dan religiositas, yang dilambangkan oleh Tugu (dahulu bernama Tugu Golong-Gilik yang berbentuk silinder dengan bola di puncaknya). Bentuk segitiga itu mengarah seutuhnya pada sifat religius, yang diwakili oleh Gunung Merapi.
Konsep keseimbangan ekologis tersebut menjadi fondasi pembangunan Yogyakarta sebagai wilayah. Di awal pembangunan, Alun-alun utara dan selatan itu menjadi wilayah terbuka yang dipenuhi pasir. Di bagian tengah ditumbuhi pohon beringin. Selain untuk pertahanan, “Konsep utamanya adalah untuk konservasi air,” jelas Yoko.
Tamansari yang dibangun oleh Mangkubumi juga mempunyai konsep keseimbangan ekologis yang kental. Di sekeliling bangunan utama Taman Sari dulu merupakan genangan air yang dialirkan langsung dari Sungai Code. Untuk bisa mencapai bangunan utama bisa dengan dua cara, yaitu dengan sampan dan berjalan kaki melalui terowongan bawah air. “Maka itu, Bangunan utama Tamansari juga dikenal dengan nama Pulau Cemeti, karena dikelilingi air,” papar Yoko.
Karena gempa hebat pada abad ke-19, bangunan tersebut rusak . Orang mulai memasuki wilayah tersebut dan mulai bermukim di sana. Denys Lombard dalam bukunyaNusa Jawa: Silang Budaya bagian tiga mendeskripsikan bagaimana di suasana di taman tersebut, “Dengan pohon-pohon mewangi, hewan jinak, menciptakan suatu alam yang tenang tenteram, suatu dunia yang hampir seperti dunia dewata.”
Konsep penataan harmonis ala Hamengku Buwono I ini mulai rusak ketika pembangunan Benteng Verdeburg dan Loji Kebon (kini dikenal dengan nama Gedung Agung) atas prakarsa Belanda. Salah satu butir Perjanjian Giyanti adalah mendirikan markas garnisun di gerbang utama dua Keraton, baik Surakarta maupun Yogyakarta.
pada masa Pemerintahan Hamengku Buwono III, konsep tersebut menjadi semakin parah ketika Belanda membangun rel kereta yang memotong poros lurus antara Keraton dan Tugu.
Keseimbangan alam
Perkembangan berikutnya, konsep tata kota Yogyakarta beralih ke Belanda. Mulailah muncul asinering (saluran buangan air bawah tanah), dari Jetis, Malioboro, sampai ke Pojok Beteng. Tata kota Yogyakarta mulai menyerupai konsep tata kota lain yang dibangun Belanda, seperti Jakarta dan Surabaya. “Konsep tata kota menjadi Eropa, yang sebetulnya sangat bagus,” Yoko menjelaskan.
Jalur transportasi, perdagangan, dan irigasi ditata dengan baik. Jalur kereta api menjangkau hampir semua wilayah Yogyakarta. “Bahkan dulu ada trem,” kata Yoko.
Sebagai kota modern yang mempunyai peninggalan budaya kaya, Yogyakarta memikul beban berat. Menurut Ikaputra PhD, pakar tata wilayah dari Universitas Gadjah Mada, pembangunan kota itu harus berbasis existing atau peninggalan budaya. “Salah satu existing Yogyakarta adalah Keraton. Pembangunan Keraton secara ekologis, diapit oleh dua sungai sehingga meminimalkan terjadinya banjir, itu sudah ideal sekali,” papar Ika. Pembangunan Yogyakarta hendaknya tetap berjalandengan tetap berdasar pada morfologi kota, termasuk tata ruang dan tata fungsi awal.
Membicarakan budaya tidak bisa lepas dari faktor alam. Laretna T. Adishakti, Ketua Jogjakarta Heritage Society menegaskan, dalam konteks pelestarian budaya, sebenarnya yang harus dilakukan adalah menjaga keseimbangan alam.
Sita, panggilan Laretna T. Adishakti, mengungkapkan bahwa dari konteks tersebut, pelestarian kebudayaan dan perkembangan perekonomian sudah semetinya berjalan beriringan. “Kita tidak menolak pembangunan mal, misalnya. Tapi harus dibangun di tempat yang tepat, harus memikirkan bangunan lama yang sudah ada di situ dan segala dinamika masyarakatnya, termasuk transportasi,” papar Sita.
Seharusnya, lanjut Sita, pelestarian budaya itu bisa dijadikan bisnis. “Yogyakarta bisa berbisnis pelestarian budaya. Orang yang datang ke Yogyakarta, ‘kan, karena Yogyakarta yang tempo dulu?” kata Sita.
Yang menjadi prinsip pelestarian budaya, menurut Dosen Arsitektur UGM yang juga menjadi Direktur Badan Pelestarian Pusaka Indonesia ini, adalah pengelolaan perubahan. Berkaitan dengan prinsip tersebut, Ika sepakat dengan alih fungsi bangunan cagar budaya. “Bangunan tua yang telantar, jelek, sebenarnya punya potensi luar biasa untuk dikembangkan,” kata Sita. Namun Sita mengingatkan, pengalihfungsian tersebut tetap harus mempertimbangkan adalah keseimbangan antara bisnis dan upaya pelestarian itu sendiri.
Satu lagi yang harus dipertimbangkan adalah masalah nilai. “Misalnya begini; kalau bangunan itu bekas bangunan tentara pelajar, sebaiknya jangan untuk kafe. Ada penghargaan terhadap nilai budaya yang sudah tertanam,” Sita mencontohkan. “Bagus jika digunakan sebagai perpustakaan atau museum, misalnya, yang lebih menghasilkan karya,” lanjut Sita. “Nah, kalau rumah tinggal mau difungsikan sebagai kafe atau restoran, tidak masalah.”
Terkait masalah mempertahankan nilai, Sita juga menyangkan rumah di wilayah Keraton yang dibeli oleh orang di luar trah Keraton. “Sultan HB IX pernah berkata dengan sangat sinis, ‘Kok alun-alun saya tidak dibeli sekalian?’ Itu orang Jawa kalau ngomong seperti itu, tandanya beliau tidak suka,” Sita mengisahkan.
Pengawasan lemah
Memang, masalah kebudayaan masih menjadi wacana yang dikesampingkan. Jhohannes Marbun, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Madya yang giat mengadvokasi masalah cagar budaya menjelaskan, pengawasan pemerintah dalam hal pelestarian bangunan cagar budaya masih lemah.
Jhohannes mencontohkan, masih ada saja bangunan cagar budaya yang dihancurkan dan dijadikan pusat bisnis seperti mal. “Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai konsern besar dalam hal konservasi cagar budaya. Namun ada pihak lain yang tanpa sepengetahuan pemerintah sudah menghancurkan bangunan tersebut. Padahal seharusnya melalui proses perizinan pemerintah,” tegas Marbun.
Untung saja, masih banyak kawasan cagar budaya yang masih terjaga kelestariannya. Daerah Kotabaru, Kotagede, dan Keraton adalah wilayah yang sampai saat ini masih terjaga warisan budayanya, termasuk dinamika masyarakatnya. “Tapi kalau melihat kasus-kasus yang lalu, tetap ada kekhawatiran bahwa warisan budaya Yogyakarta itu juga terancam,” papar Jhohannes.