Intisari-Online.com - Sudahkah kota yang kita tinggali ramah terhadap penghuninya? Tentu saja belum.
Wajah kota yang karut-marut masih merupakan hal yang jamak. Banjir, kemacetan, polusi karbon, minimnya ruang publik atau ruang terbuka hijau (RTH) hanyalah beberapa persoalan yang menghadang sebuah kota ramah penghuni. Sebuah tatanan chaotic yang bisa membuat penghuninya putus asa.
Namun begitu, utopia tentang kota yang ramah terhadap warganya harus tetap dipelihara. Berutopia atau bermimpi kota idaman nan nyaman bisa jadi dorongan bagi kita untuk mewujudkannya. Terlebih selama 50 tahun terakhir kota-kota besar bermunculan, dengan jumlah penduduk yang kian meningkat pula.
Ahli perkotaan Mike Davis, dalam bukunya Planet of Slums (2006), memperkirakan bakal ada sekitar 550 kota pada 2015. Total jumlah populasi yang hidup di perkotaan mencapai 3,2 miliar orang. Populasi kota Jakarta sendiri tahun ini sudah berjumlah 12 juta jiwa. Diperkirakan tahun 2016 akan mencapai 16 juta orang. Kecenderungan urbanisasi yang kian tak terbendung, tentunya mensyaratkan hunian kota yang layak.
Maka, seperti apa konsep ideal kota dengan lingkungan yang ramah warga itu? Apa saja indikatornya?
Di mata Yayat Supriyatna, planolog Universitas Trisakti, sesungguhnya konsep kota ramah warga itu sederhana. Cukup mengacu pada empat prinsip tata ruang: aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Aman, artinya, kita bisa beraktivitas dan bebas dari ancaman bencana. Sedangkan nyaman mengacu pada kualitas kehidupan kota. Intinya, setiap orang harus bisa merasa senang dan menikmati keindahan kota sebagai ruang kehidupan. Di sinilah budaya urban menjadi denyut nadi kehidupan kota.
Dengan situasi aman dan nyaman, otomatis bakal memacu produktivitas warganya. Roda perekonomian kota akan terus melaju. Sektor riil akan bergerak. Sementara prinsip berkelanjutan mengandaikan segala potensi sumber daya dikelola dengan semangat “ada yang bisa diwariskan pada anak cucu kita. Maka, setiap praktik pembangunan kota dan aktivitas perekonomian warganya harus memperhitungkan, antara lain, daya dukung lingkungan, dst.
Di sini, beberapa langkah maju yang sudah dilakukan beberapa pihak perlu diapresiasi. Contoh, pemasangan wi-fi di 7 taman kota di Jakarta, pembuatan 5.250 lubang biopori di Bogor, atau swakelola sampah oleh warga di beberapa kampung kota, dan lain-lain. Memang belum bisa mengubah wajah kota secara dominan. Tapi sebagai pengalaman yang bakal menginspirasi tempat-tempat lain, upaya tersebut perlu ditampilkan juga.
Terakhir, tanpa mengabaikan kebijakan penguasa dan ahli perencanaan kota, partisipasi warga kota dalam mewujudkan kota yang nyaman juga perlu didorong. Sebab sebagaimana dikatakan Wardah Hafidz, partisipasi mutlak diperlukan dalam penataan kota. “Kota adalah manusia yang menghuninya. Ide, pendapat, kehendak, kebutuhan, relasi sosial ekonomi dan politik warga adalah aspek-aspek yang membentuk dan menentukan warna, bentuk, dan sejahtera tidaknya sebuah kota,” kata Koordinator Urban Poor Consortium (UPC), sebuah organisasi masyarakat sipil, ini.
Karena itu, semua aspek di atas sangat penting digali, didengar, dipenuhi dan diwujudkan. Ini akan memupuk rasa memiliki warga terhadap kotanya. Penataan dan pembagian ruang pun sesuai dengan kebutuhan warga kota. “Keterlibatan warga akan mewujudkan kota yang demokratis dan terbuka,” lanjut dia.
*) Laporan lebih lengkap dan mendalam tentang “Kota Ramah Warga” bakal diulas dalam rubrik “Sorotan” Majalah Intisari Edisi Februari 2013.