Golongan Darah: Dewa Baru Masyarakat Jepang

Jeffrey Satria

Editor

Golongan Darah: Dewa Baru Masyarakat Jepang
Golongan Darah: Dewa Baru Masyarakat Jepang

Intisari-Online.com - “Apa golongan darahmu?” Pertanyaan itu akan terdengar biasa, bila terlontar di antara kita. Namun tidak di Jepang. Bagi masyarakat Jepang, golongan darah bisa jadi pembahasan serius, dari cara mengendarai mobil hingga pekerjaan yang cocok.

Tahun 2012 yang lalu, empat dari sepuluh buku terlaris di Jepang berbicara tentang bagaimana golongan darah menentukan karakter seseorang. Menurut distributor buku terbesar, Tohan Co, penerbit Bungeisha berhasil menjual serial buku karakter dan golongan darah B, O, A, dan AB sebanyak 5 juta kopi.

Taku Kabeya, pemimpin redaksi di Bungeisha berpendapat, tingginya antusiasme terhadap buku karakter dan golongan darah timbul dari keingintahuan pembaca akan karakter dirinya sendiri.

Seperti yang didefinisikan oleh buku tersebut. Golongan darah A sangat sensitive, perfeksionis, namun mudah cepat. Golongan darah B adalah orang-orang yang ceria, eksentrik, namun sangat egois. Golongan darah O suka penasaran, murah hati, namun keras kepala. Sedang AB sangat artistik, misterius, dan tak dapat diprediksi. Seperti horoskop, namun masyarakat Jepang terbukti tak mempedulikannya.

Persoalan golongan darah ini memang tak main-main. Mantan Perdana Menteri Jepang, Taro Aso, bahkan menyelipkan golongan darahnya di riwayat hidupnya. Ia bergolongan darah A. Sedang rivalnya, Ichiro Ozawa, bergolongan darah B.

Penempatan golongan darah di kalangan masyarakat Jepang juga merambah hingga permainan video dan kantung kejutan hadiah berisi asesoris perempuan. Bahkan sebuah stasiun televisi di Jepang menyiarkan sebuah drama komedi yang bercerita tentang seorang perempuan yang mencari suami berdasarkan golongan darahnya.

Tak sampai di situ.

Beberapa biro jodoh menyediakan tes kecocokan golongan darah bagi mereka yang sedang mencari pasangan. Beberapa perusahaan menempatkan karyawannya berdasarkan golongan darah, bukan kemampuan atau kapabilitasnya. Anak-anak TK sudah dipisahkan menurut golongan darahnya, dan tim sofbol perempuan yang memenangkan medali emas di Olimpiade juga menggunakan latihan berdasarkan golongan darahnya.

Persoalan golongan darah ini bahkan sudah menjadi komponen sosial. Masyarakat Jepang memiliki panggilan tersendiri bagi pelecehan golongan darah. Mereka menyebutnya “bura-hara”. Walau sudah diperingatkan berkali-kali, para pewawancara masih saja menanyakan golongan darah pada calon karyawan saat wawancara kerja, jelas Junichi Wadayama petugas dari Departemen Kesehatan, Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan Jepang.

“Kepercayaan terhadap golongan darah sudah tersebar begitu luas, bahkan para pewawancara tak sadar, menanyakan golongan darah bisa mengakibatkan diskriminasi,” ujar Wadayama. Padahal Satoru Kikuchi profesor psikologi dari Shinshu University menyatakan, golongan darah ditentukan oleh protein dalam darah dan tak ada hubungannya dengan kepribadian atau karakter seseorang.

Lebih lanjut, Satoru mengatakan, persoalan golongan darah ini telah memalukan dunia ilmiah. “Ide menilai seseorang lewat golongan darah, tanpa berusaha mengerti mereka sebagai manusia tak lebih daripada perlakuan rasisme,” tegas Satoru.

Berasal dari Nazi

Teori golongan darah berasal dari ideologi Nazi dan diadopsi oleh pemerintahan Jepang pada tahun 1930. Saat itu kekuatan militer Jepang sedang berkembang pesat, dan pemerintah ingin mengembangkan prajurit-prajurit terbaik. Beberapa tahun kemudian ide ini mulai ditolak dan menghilang tanpa jejak.

Tahun 1970, ide ini kembali dikemukakan oleh Masahiko Nomi, seorang advokat tanpa latar belakang medis. Putra Masahiko, Toshitaka mengembangkan ideologi ini dan menyebarkannya secara diam-diam melalui organisasi Human Science ABO Center. Ia menyatakan, penggolongan individu melalui golongan darah tak bertujuan untuk menghakimi, tapi untuk memperlancar hubungan antarindividu dan memaksimalkan talenta.

Semudah itukah kita mengerti manusia? Kalau semudah itu, mungkin ada bagusnya PMI jadi HRD ya?