Mengusir Hama Tikus dengan Serak Jawa

Rusman Nurjaman

Editor

Mengusir Hama Tikus dengan Serak Jawa
Mengusir Hama Tikus dengan Serak Jawa

Intisari-Online.com- Kamis, 29 Maret 2012. Di tengah area persawahan Peleman, Desa Kerjen, Blitar, Heri Nugroho, Sang Bupati melepas sepasang burung hantu. Ini merupakan pelepasan simbolis yang menjadi langkah awal petani di desa tersebut untuk mengurangi populasi tikus sawah. Mereka melepas tujuh pasang burung dan sarang buatan di 17 tempat.

Sebelumnya para petani di desa ini resah gelisah gara-gara serangan hama tikus. Banyak cara sudah mereka tempuh untuk mengurangi intensitas serangan maupun populasi tikus. Mulai dari pembersihan tempat-tempat persembunyian tikus, gropyokan, pemberian racun tikus dan emposan (tiupan), pengerahan anjing pemangsa tikus sampai dengan pengadaan ritual penyelamatan tanaman padi di sawah. Semua kegiatan tersebut ternyata tidak cukup efektif mengusir hama tikus sawah.

Menurut Khusnul Marfuah, penyuluh pertanian di Kecamatan Srengat, keadaan ini membuat para petani berpikir keras mencari solusi permanen agar hama tikus bisa diatasi. Sebab dengan adanya serangan hama tikus, hasil panen padi tak akan optimal. Akar permasalahan pun akhirnya ditemukan. Petani menyadari, serangan hama tikus ini disebabkan berkurangnya predator (pemangsa) tikus. Ular dan burung hantu dikenal sebagai predator tikus. Jika predator diperbanyak, populasi tikus bisa ditekan. Begitu kira-kira pikir para petani di desa Kerjen tersebut.

Namun, dari dua predator tersebut, burung berhidung pesek itulah yang aman bagi manusia. Maka dengan dukungan pemerintah desa dan tokoh masyarakat, Haji Masengut, para petani bersepakat untuk melakukan pengendalian hama tikus dengan menanam burung hantu di sawah.

Upaya yang sama memang sudah dilakukan para petani di beberapa kota lain di Jawa. Begitu juga beberapa perkebunan sawit di Sumatera. Hanya saja, para petani di Blitar ini tak hanya menggunakan burung hantu sebagai predator alami belaka. Agar tidak terusik oleh kegiatan manusia, seperti perburuan dan penangkapan, para petani mendorong pemerintah Desa Kerjen membuat Peraturan Desa (Perdes) No 01 tahun 2012. Perdes tersebut bertujuan melindungi satwa dan tumbuhan, termasuk burung hantu. Bagi yang melanggar, dikenakan sanksi administratif. Misalnya, jika ada orang yang menembak, membunuh dan melakukan perbuatan lain yang mengakibatkan satwa tersebut terluka atau mati, wajib membayar denda sebesar lima kali lipat satwa tersebut. Selain itu, wajib memberikan biaya perawatan jika hewan tersebut sakit. Jika hewannya mati, wajib mengganti dengan satwa sejenis.

Kelompok tani dan pemerintah desa juga secara rutin melakukan penyuluhan. Tujuan penyuluhan ini agar masyarakat memahami dan menyadari pentingnya menjaga kelestarian burung hantu. Masyarakat diajak untuk bersahabat dan melindungi keberadaan yang dulu dikenal sebagai burung raja mitos itu.

Dalam perkembangannya, upaya ini cukup efektif. Burung hantu memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengendalikan populasi tikus. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada cara yang berhasil untuk mengatasi tikus di sekitar hutan kecuali memanfaatkan musuh alaminya, yaitu burung hantu. Dalam pertanian, sepasang burung hantu bisa melindungi 25 hektar tanaman padi. Karena dalam waktu satu tahun, satu ekor burung hantu dapat memangsa 1.300 ekor tikus.

“Kalau dulu masyarakat kurang peduli terhadap musuh alami hama padi, sekarang jauh berbeda. Masyarakat sudah mulai sadar akan fungsi dan keberadaan burung hantu,” kata Djoko Edi Prabowo, Kepala Balai Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Srengat, Blitar.

Lantaran manfaatnya besar untuk pertanian, beberapa desa lain pun kini mulai meniru langkah desa Kerjen. “Sekarang setidaknya sudah ada tiga desa lain yang juga membuat Perdes perlindungan hewan. Di antaranya Desa Karanggayam, Wonorejo, dan Maron,” kata Djoko. Di samping itu, beberapa tetangga desa yang lain pun kena dampaknya juga. Hama tikus mulai menyusut.

Dwi Muliawati, staf Burung Indonesia, menilai upaya tersebut sebagai solusi yang cerdas. “Mereka memanfaatkan siklus ekologis dari suatu ekosistem. Memang seharusnya ada predator, ada yang dimangsa, dan dari situ (hasilnya) ada keuntungan buat manusia, juga lahan pertaniannya,” kata Dwi.