Bagaimana Anak Memahami Seksualitas

J.B. Satrio Nugroho

Editor

Bagaimana Anak Memahami Seksualitas
Bagaimana Anak Memahami Seksualitas

Intisari-Online.com -Sebenarnya, semenjak dilahirkan anak sudah mempunyai perasaan seksual. Bayi sering menyentuh organ genitalnya karena menimbulkan rasa “enak” dan nyaman jika mereka sedang cemas dan marah. Tapi tentu saja bayi tidak melakukannya secara sadar dan sengaja, karena tahap kognitif anak usia satu tahun atau kurang masih pada tahap sensorimotor, yaitu melalui aktivitas sensoris (melihat, meraba, merasa, mencium, dan mendengar) dan persepsinya terhadap gerakan fisik tersebut.

Pemahaman mengenai seksualitas mulai berkembang sejak anak mulai paham bahwa jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan, yaitu pada saat anak berusia 2-3 tahun. Seperti dijelaskan Roslina Verauli, M.Psi, psikolog keluarga dan anak, bahwa ketika si anak sudah mengenal toilet, saat itulah dia tahu bahwa dirinya laki-laki atau perempuan. “Karena sex itu kan berarti alat kelamin,” jelas Vera, panggilan akrab ibu satu anak ini.

Pemahaman itu akan semakin berkembang seiring perkembangan fisik anak. Pada usia 4 tahun, barulah anak mulai belajar tentang seksualitas. “Dia akan belajar tentang peran gender dalam pemahaman seksualitas, belajar membedakan antara laki-laki dan perempuan,” tutur Vera.

Di fase perkembangan ini, anak mulai paham bahwa dia harus meniru bapaknya atau ibunya. Dia mulai belajar bagaimana berperilaku sebagai laki-laki atau perempuan.

Nah, itu sebabnya di usia sekolah, 7-12 tahun, anak makin memperkuat peran gendernya dengan pertemanan sesama jenis. Anak laki-laki senang bergaul bersama teman sejenisnya, begitu juga anak perempuan. Maka tak heran kalau pada fase ini anak membuat kubu: laki-laki dan perempuan. Anak lelaki bermain bersama anak lelaki, begitu pada anak perempuan. Jika ada anak lelaki yang bermain bersama anak perempuan, oleh teman-teman lelakinya dia dianggap aneh.

Pemahaman anak tentang peran gendernya akan teruji di saat remaja, sekitar usia 12-20 tahun, ketika anak secara seksual mengalami kematangan baik secara fisik, psikologis, maupun kognitif. “Jadi secara fisik dia ready, organ seksualnya sudah matang,” jelas Vera. Remaja pria mulai mengalami mimpi basah, sedangkan wanita mendapatkan menstruasi.

Pada tahap ini, ada perubahan hormonal yang membuat anak teraktivasi secara seksual. Vera menjelaskan, “Yang tadinya pengetahuan tentang seks tidak dalam bentuk imajinasi dan fantasi aktif, kini teraktivasi.” Saat-saat inilah anak mulai mengkhayal, tertarik dan ingin menjalin hubungan yang lebih intensif dengan lawan jenis, kemudian mulai pacaran. “Tahap selanjutnya, pada usia 20-an tahun dia mampu menentukan pasangan yang tepat untuk diajak settling down, menikah,” terang Vera.

Pendampingan orangtua menjadi faktor yang krusial dan menentukan. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terjadi, itu bisa mempengaruhi kematangan peran seksual dan kondisi psikologis anak. Seperti yang dicontohkan Vera, misalnya pada saat seorang anak lelaki usia 4-5 tahun, saat dia dalam fase belajar identifikasi diri dan seksualnya, ayahnya meninggal. “Padahal satu rumah perempuan semua. Lalu dia belajar identifikasi seksual dari mana?” paparnya.

Bagi orangtua yang terlampau sibuk dan mengandalkan pengasuh atau babysitter untuk mengasuh anak, sebaiknya hati-hati. Sebab, bagaimana pun Anda berupaya keras memberi pendidikan yang terbaik bagi anak, jika pengasuhnya tidak benar-benar bertanggung jawab, bisa berantakan juga.“Kalau pun babysitter sudah kita berikan pelatihan, sukar juga mengontrol bahwa sang pengasuh melakukan apa yang kita instruksikan. “Itu kan, bukan anak dia,” kata Vera memberi alasan.

Salah satu kontrol yang bisa dilakukan orangtua adalah membatasi menonton televisi ketika Anda bekerja, sebatas acara yang sesuai untuk anak-anak. Karena ketika kita mendampingi anak menonton televisi, kita harus siap membahasakan apa yang sedang kita tonton dalam sudut pandang anak. Maka itu, pendamping anak harus yang benar-benar paham apa yang harus dia lakukan.

Selain itu, anak harus diberi variasi aktivitas, tidak hanya nongkrongin televisi di ruang keluarga. Sekolah, kegiatan minat seperti les, dan pertemanan adalah bentuk variasi yang diperlukan anak. “Itulah dunia anak, bermain dan memperkaya diri dengan pengetahuan,” pungkas Vera.