Awasi Tayangan Kekerasan Video Game

Agus Surono

Editor

Awasi Tayangan Kekerasan Video Game
Awasi Tayangan Kekerasan Video Game

Ada dua umpan yang dilempar oleh produser agar film produksinya laku ditonton. Seksualitas dan kekerasan. Orang tua cenderung mencekal yang pertama, tapi jarang atau tidak sama sekali untuk yang kedua. Padahal "bahayanya" tak kalah seriusnya.

Lebih dari satu dekade silam, Eric Harris (saat itu berusia 18) dan Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado, Amerika, menembak 11 rekannya dan seorang guru hingga tewas pada 20 April 1999? Dari keterangan temannya diperoleh, Dylan Klebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage.

Apakah game itu menjadi pemicu dua pelajar tadi? Masih banyak factor yang harus dikaji. Akan tetapi, "Main game itu intens. Di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat,"? kata Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis. Apalagi analisis lanjutan menemukan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap rekan-rekan yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka untuk menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.

Para peneliti juga berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV.

Tayangan kekerasan memang mudah menarik perhatian anak-anak. Mereka bisa bertahan nonton tayangan film jenis laga yang tak jauh dari unsur kekerasan. Unsure ketegangan menjadi bumbu yang membuat anak nyandu. Masalahnya, kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.

Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor.