Intisari-Online.com - Seorang psikolog bilang bahwa sudah bukan zamannya memandang bos dari jenis kelaminnya. Akan tetapi, teman saya yang sekretaris pernah uring-uringan gara-gara bosnya yang kebetulan wanita. Ia lalu membandingkan bos sebelumnya yang berjenis kelamin pria.
Tak bisa dipungkiri, ada sedikit perbedaan kecenderungan pria dan wanita menyikapi kondisi kerja. Psikolog John Gray, Ph.D. dalam buku Mars and Venus in the Workplace menguraikan perbedaan cara bekerja pria wanita, dan bagaimana mencari jalan tengah agar pria dan wanita bisa bekerja sama, tetap terdorong untuk maju untuk mencapai tujuan bersama.
Menurutnya, wanita cenderung untuk percaya bahwa orang-orang akan tahu dengan sendirinya tugas-tugas yang telah dilakukannya dengan baik dan akan menghargai hasil pekerjaan itu. Sementara pria cenderung berpikir bahwa mereka harus mengumumkan prestasi itu. Wanita cenderung menyelesaikan masalah dalam kelompok, sementara pria lebih suka menyelesaikan masalahnya sendiri. Wanita cenderung bersikap ramah dan menghargai hubungan baik di tempat kerja, sementara pria cenderung menganggap bahwa terlalu banyak bersosialisasi sebagai sikap tak profesional dan buang-buang waktu saja.
Jalan tengahnya, untuk menghindari kesan angkuh, terimalah pujian atas sebuah prestasi dengan rendah hati. Bila ada rekan kerja membutuhkan bantuan, jangan enggan menawarkan jalan keluar, dan bila kita sendiri menghadapi masalah, tak perlu ragu meminta pendapat rekan kerja atau bos. "Biarkan kepribadian Anda bersinar lewat pertemuan singkat tapi menyenangkan," kata John Gray. Beramah tamah tak ada buruknya, "Anda akan tampak terbuka tapi serius."
Steven Stein, Ph.D. dari Harvard University melakukan penelitian yang melibatkan 4.500 pria dan 3.200 wanita. Di tempat kerja, ternyata Emotional Quotient (EQ) wanita ternyata lebih tinggi dari pria dalam hal berempati dan mengemban tanggung jawab sosial, lebih pandai mendengarkan keluhan rekan kerja dan pelanggan, serta pandai membaca suasana hati hingga lebih mudah mendapatkan kepercayaan rekan kerja - termasuk bos - dan pelanggan.
Meski benar tak lagi zamannya membandingkan bos wanita dan pria, toh dalam kehidupan yang masih patriarki ini tak mudah menghalau pemikiran tadi. Ingat saat wanita ingin menjadi presiden di negeri ini beberapa tahun silam?
Tak heran jika kemudian Endah Rahayu Lestari dari Teknik Industri ITB pernah melakukan penelitian untuk thesis masternya pada tahun 2004. Hasil dari tesis berjudul "Pengaruh Profesionalisme Pemimpin Wanita terhadap Rasa Hormat, Takut dan Niat Bawahan untuk Bekerja sesuai dengan Pengarahannya" yang dilakukan di lingkungan perguruan tinggi negeri dan swasta di Malang itu adalah bahwa profesionalisme wanita diwujudkan oleh kemampuan berkomunikasi, dan kecakapan ini menetralkan pengaruh negatif dari usia dan masa jabatan pemimpin wanita itu terhadap sikap hormat dan takut bawahannya. Keefektifan kepemimpinan wanita dapat ditunjukkan oleh niat bawahan untuk bekerja sesuai dengan pengarahan atasannya.
Kemampuan berkomunikasi bos wanita juga mampu mencairkan sikap keras seorang wanita. Seperti yang dialami Badiah yang kini bertugas sebagai Kepala Seksi Cagar Alam Pulau Penjaliran di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. "Waktu bertugas di Taman Nasional Ujung Kulon, saya membenahi berbagai bidang. Saya dengar, saya dinilai terlalu keras. Tapi ketika masa jabatan habis, pada pesta pisah sambut dengan pejabat baru, semua anak buah menunjukkan sikap bersahabat, dan memberi kenang-kenangan dari kantong mereka sendiri, seperti sepatu boot untuk menyelam, yang akan sangat berguna di tempat tugas saya yang baru. Ternyata saya 'diterima'," katanya haru.
So, apa pun jenis kelaminnya, dia adalah bos Anda, bos kita!