Mati Guyon Cara Pesantren (Bag. 3 dari 3)

M Sholekhudin

Penulis

Mati Guyon Cara Pesantren (Bag. 3 dari 3)
Mati Guyon Cara Pesantren (Bag. 3 dari 3)

Bicara tentang humor NU, jelas kita tak bisa melupakan sang godfather-nya, almarhum Gus Dur. Mantan presiden paling mbanyol sejagat ini bahkan masih terus membawa kebiasaan bergurau ala pesantren, meskipun telah menjadi kepala negara.

“Gus Dur pernah nelpun saya, jauh-jauh dari Kuba hanya untuk menceritakan sebuah lelucon,” tutur Gus Mus tentang sahabatnya ini. Cerita berikut adalah lelucon Gus Dur saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi antarkepala negara di Havana.

Di sana, semua kepala negara diberi kesempatan pidato selama lima menit. Sebagai tanda waktu, panitia menyediakan lampu yang menyala hijau, lalu kuning, dan terakhir merah. Ketika Gus Dur selesai pidato, semua hadirin memberikan aplaus meriah. “Mereka tepuk tangan bukan karena isi pidato saya, tetapi karena mereka kagum saya bisa pidato tepat lima menit. Padahal saya ‘kan enggak bisa melihat,” kata Gus Mus menirukan Gus Dur, sambil terkikih-kikih.

Tiba giliran Fidel Castro, Gus Dur heran sebab pidatonya sangat panjang. Kepada undangan yang duduk di sebelahnya, Gus Dur bertanya, “Apa dia tidak melihat lampu?”

Yang ditanya menjawab, “Lampunya ditutupi pakai sapu tangan.”

Sebagaimana tradisi joke dalam budaya lain, kadang humor NU berupa cerita rekaan hasil adaptasi dari budaya lain. “Mungkin Gus Dur kulak dari tempat lain, lalu di bawa ke sini. Humor ‘kan enggak punya hak cipta,” kata Gus Mus.

Kadang-kadang satu kisah nyata yang kocak muncul dalam banyak versi, misalnya beda keterangan tempat dan waktu. “Ini memang kelemahan tradisi lisan. Tapi inti cerita tetap sama,” jamin Fikri.

“Humor itu hakikatnya ‘kan melihat sesuatu dari sisi yang tidak dilihat kebanyakan orang. Makanya sense of humor yang tinggi biasanya dimiliki oleh orang-orang yang cerdas,” papar Gus Mus.

Sayangnya, kejenakaan itu kadang disampaikan secara kurang bijak. Secara arif, Gus Mus memberi contoh joke Gus Dur yang mengejek lawan politiknya. Misalnya, ketika ia mengibaratkan NU sebagai ayam, sementara partai yang ia dukung sebagai telur, sedangkan partai-partai lain sebagai kotoran.

Menanggapi perselisihan yang pernah terjadi antara Gus Dur dengan KH Hasyim Muzadi, Gus Mus berkomentar, “Gus Dur dan Hasyim itu sama-sama humoris. Tapi setelah berselisih, mereka enggak mbanyol lagi. Dulu, jika ketemu keduanya selalu kulak-mengulak guyonan.”

Gus Mus mengisahkan salah satu nostalgia saat keduanya tukar-menukar guyon.

Jika bercerita lucu, Kyai Hasyim biasanya meyakinkan lawan bicara dengan menyebut nama orang berikut jabatannya di kepengurusan NU. Satu kali, Gus Dur mengecek kebenaran cerita-cerita itu pada KH Muchit Muzadi. Secara berseloroh, Muchit menjawab, “Sampeyan kayak enggak kenal Hasyim saja. Semua hadisnya, kalau enggak dhaif ya maudhu’”.

Oleh Gus Dur, kelakar ini diomongkan kepada Hasyim. Tapi Hasyim membalas kelakar itu dengan olok-olok yang tak kalah cerdik, “Sampeyan kayak enggak kenal kakak saya. Dia memang ingkarus sunnah.”

Mohon maaf, jika kebetulan Anda kurang paham dengan istilah-istilah di atas. Tapi percayalah, ini guyonan lucu yang layak kita apresiasi. Karena itu, meskipun tidak paham, tersenyumlah supaya Anda bahagia.

(Selesai)