Intisari-Online.com - Benarkah sastra mempunyai kaitan erat dengan perkembangan karakter individu atau masyarakat?
Pengakuan seorang intelektual muda Yudi Latif dalam bukunya (Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan)menegaskan hal tersebut. Pengalamannya bertaut dengan berbagai karya sastra sejak usia remaja turut membentuk kepribadiannya. Cakrawala pikiran meluas, kemampuan bertutur meningkat, kepercayaan diri menguat, kepekaan etik dan estetik menajam. Setidaknya itulah sejumlah manfaat yang dirasakan Yudi lewat sastra.
Sebagai sebentuk medium seni keberaksaraan, sastra mempunyai cakupan yang luas. Untuk kategori sastra lisan, bisa berupa dongeng, hikayat, pantun, tambo, atau berbagai bentuk cerita rakyat yang melekat dalam tradisi masyarakat.
Sementara untuk kategori cetak, bisa berupa novel, novelet, roman, cerita pendek, puisi, dan drama. Semua itu bisa ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk seni pertunjukkan, seperti teater, film, pantomim dan lain-lain.
Sastra memiliki peran penting untuk mendorong efektivitas pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pendekatan menyeluruh. Pendidikan karakter dapat menjembatani dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil kehidupan siswa.
Di kelas atau dalam kehidupan publik, pendidikan karakter biasanya disampaikan melalui contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Di sinilah sastra berperan. Siswa dan masyarakat dapat mengidentifkasi sifat-sifat atau karakter sang teladan atau pahlawan itu.
Melalui karya sastra nilai-nilai keteladanan ini tidak diajarkan secara kognitif. Misalnya, dalam bentuk rumus atau pilihan ganda. Tetapi nilai-nilai itu ditangkap lewat penghayatan emotif, tanpa bersifat menggurui. Dari sini tampaklah medium kesusastraan dengan karya-karya agungnya memang bisa memberikan wahana yang tepat bagi pendidikan karakter.
Di beberapa negara maju, pendidikan karakter berbasis sastra ini sudah lama dilakukan. Di Inggris, misalnya, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak SD. Tujuannya untuk menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Swedia, beragam spanduk dibentangkan di hari raya. Isinya? Kutipan dari karya-karya kesusastraan. Di Malaysia dan Jepang, warga usia sekolah diwajibkan membaca sedikitnya 25 karya sastra.
Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi seringkali mempengaruhi hidup, standar moral, dan bahkan mengubah dunia.
Contohnya, Hikayat Perang Sabil menginspirasi perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme. Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah biru memicu kemunculan gerakan pembebasan perempuan. Belum lagi kalau kita mencermati pengaruh yang ditimbulkan karya-karya Homer, Goethe, hingga Ronggowarsita. Karya-karya mereka memberi dampak yang luas bagi dunia kehidupan masyarakatnya masing-masing.
Dengan mengambil pelajaran dari moralitas para tokohnya, karya sastra bisa menjadi wahana persemaian nilai dan praktis moralitas yang efektif.