Harmonis Dengan Komunikasi Dua Arah

Agus Surono

Editor

Harmonis Dengan Komunikasi Dua Arah
Harmonis Dengan Komunikasi Dua Arah

Intisari-Online.com -Salah satu rahasia kebahagiaan keluarga ialah menciptakan komunikasi dengan mau menerima umpan balik antaranggota keluarga. Untuk itu sebagai orangtua, perlu konsisten dan bersedia mendengarkan keluh kesah anak tanpa perlu tergesa-gesa menghakimi.Rasanya, makin sering terdengar kabar, sebuah keluarga harmonis ternyata menyandang masalah berat. Putrinya hamil di luar nikah, atau putranya yang mahasiswa terkena kasus narkoba. Pertanyaan spontan lantas muncul, mengapa itu bisa terjadi?Soalnya, berdasar pandangan umum, mereka yang punya masalah serupa itu biasanya berasal dari keluarga broken home atau kurang harmonis. Atau keluarga yang tinggal di daerah kumuh atau lokalisasi.Dengan sedikit menyederhanakan, salah satu pemicu persoalan itu barangkali kegagalan komunikasi dalam keluarga. Ahli komunikasi Beisler F. berpendapat, ada empat faktor yang berperan penting dalam proses komunikasi, yaitu pengirim pesan, penerima pesan, pesan itu sendiri, dan umpan balik.Dari situ lantas muncul pertanyaan, apakah keempat komponen penting dalam komunikasi itu sudah digunakan secara efektif dalam membina hubungan yang lebih berkualitas. Taruhlah dalam kasus si mahasiswa yang terperangkap dalam obat-obatan terlarang tadi, apakah orangtua (ortu) melihat adanya perubahan kebiasaan atau tingkah laku anak? Atau mereka cuek saja?Seandainya komunikasi ortu - anak berjalan baik, perubahan sekecil apa pun pasti dirasakan oleh orangtua. Sebaliknya, anak yang mulai terperangkap ke dalam lingkaran narkoba akan berusaha memberitahukan pada ayah - ibunya.Ada kemungkinan, bentuk komunikasi yang dikembangkan selama ini komunikasi searah, yakni orangtua menyampaikan pesan atau nasihat pada anaknya. Sementara anak-anak menerima mentah-mentah tanpa kesempatan untuk berdialog. Cara komunikasi jenis ini memang lebih cepat dan efisien, tetapi tidak intens.Komunikasi searah sangat berbeda dengan komunikasi dua arah. Pada tipe ini pengirim pesan mendapatkan umpan balik dari penerima pesan, sehingga masing-masing pihak menjadi objek pembicaraan. Adanya tanggapan dari lawan bicara, komunikasi menjadi lambat, tetapi jauh lebih berkualitas. Tapi hasilnya, akan terbina sikap saling percaya, ketika masing-masing anggota keluarga merasa didengarkan dan diperhatikan.Bila diibaratkan, hubungan dalam keluarga antara orangtua dan anak bisa digambarkan seperti orang yang menyusuri sungai dengan perahu dayung. Mereka harus saling mengisi dan berbagi. Pada suatu saat, sang ayah harus mengukur kekuatan dayungnya untuk mengimbangi kemampuan mendayung anak. Mereka juga harus sering berkomunikasi satu sama lain bila melalui arus yang deras. Apabila komunikasi lancar, maka perjalanan itu akan menjadi menyenangkan dan akhirnya sampai tujuan dengan selamat. Komunikasi yang dilakukan para pendayung itu pada hakikatnya adalah komunikasi dua arah.Perbedaan nilaiDalam praktiknya, komunikasi dua arah bisa berjalan dengan beberapa prasyarat. Misalnya saja, masing-masing pihak harus bisa mengendalikan emosi. Emosi yang berlebihan dalam bentuk ketakutan, kesedihan, kebencian, dsb. justru menghambat penyampaian pesan. Terlalu melibatkan perasaan juga membuat orang tidak bisa melihat masalah secara rasional. Ini tentu akan menyulitkan pemecahan masalah.Hubungan antaranggota keluarga juga mensyaratkan konsistensi tindakan, ucapan, maupun sikap. Bila hal ini tidak dipegang, bisa saja komunikasi menjadi terhambat dengan munculnya sikap saling curiga.Orangtua juga harus memperhatikan karakter setiap anak sebelum membicarakan masalah dengan mereka. Anak perempuan, misalnya, umumnya lebih cermat dalam menerima pesan dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini lantaran sifat dasar yang dimiliki. Wanita juga lebih peka, sehingga perlu lebih berhati-hati bila membicarakan persoalan sensitif.Yang tak kalah penting, perlunya memahami adanya perbedaan nilai pada setiap generasi. Maka ketika seorang ayah memberi nasihat soal pentingnya budi pekerti pada putra-putrinya, mereka sering berkata spontan, "Ah, Bapak kuno." Si anak barangkali tidak bermaksud membantah, tetapi mungkin saja tidak paham betul yang dimaksud dengan budi pekerti oleh orangtuanya.Perbedaan budaya juga mempengaruhi dalam penerimaan pesan. Budaya Jawa yang serba slow, alon-alon waton kelakon, sangat berbeda dengan budaya Batak yang lebih cepat dan terus terang. Ini sangat kentara ketika Soeharto masih menjadi orang nomor satu di negeri ini.Semasa kepemimpinannya, para menteri, terutama yang berasal dari luar Jawa sering bingung bagaimana harus mengartikan tindak-tanduknya. Soalnya, antara ya atau tidak, setuju atau tidak setuju, tidaklah jelas. Soeharto malah sering tersenyum, sesuatu yang butuh interpretasi lain lagi.Komunikasi dua arah juga mensyaratkan adanya keterbukaan kedua belah pihak, orang tua, dan anak. Namun, sering dijumpai anak kurang terbuka terhadap orang tua. Alasan anak umumnya takut kalau orang tuanya marah.Dengan alasan itu sebagian besar anak tidak memberitahukan pada orangtua jika ia berpacaran. Terlebih kalau ia terjerumus ke dalam obat terlarang.Ketidakharmonisan komunikasi itu tentu saja tidak bisa dibebankan begitu saja pada anak atau orangtua. Akan tetapi yang perlu dilakukan adalah mendorong supaya anak makin lama makin berani mengungkapkan perasaan dan persoalannya.Caranya, bisa dimulai dengan membiarkan anak mengungkapkan pandangannya secara bebas. Anak juga jangan dikritik sewaktu mengutarakan permasalahannya. Bahkan sebaiknya orangtua berempati dan berusaha merasakan apa yang diungkapkan. Dengan berbagai langkah itu diharapkan, hubungan akan menjadi lebih mesra dan harmonis.Komunikasi yang baik juga sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang dikembangkan dalam keluarga. Pada pola asuh ororiter, yang ditekankan adalah larangan dan hukuman. Prinsipnya, anak harus selalu mengikuti segala kehendak orangtua dan tidak ada toleransi dalam bentu apa pun. Anak juga dilarang membantah. Pola ini tidak cocok sebagai pilar komunikasi keluarga yang efektif karena jenis komunikasinya searah.Sementara dalam pola asuh liberal, anak dibiarkan bebas sebebasnya. Tidak ada larangan dari orang tua. Dalam kondisi ini komunikasi yang digunakan tidak jelas. Bahkan mungkin tidak ada komunikasi karena anak dan orang tua mempunyai kesibukan sendiri-sendiri.Dari kedua kutub itu muncul pola asuh demokratis. Di sini ada keseimbangan antara larangan dan aturan yang diberikan. Sementara orang tua memberi kesempatan dan kebebasan yang ada. Pada tipe komunikasi ini, biasanya digunakan komunikasi dua arah.Hindari godaan materiBanyak sebenarnya yang bisa dilakukan untuk membina komunikasi secara tidak langsung, misalnya bermain bersama, berekreasi bersama. Atau kalau anak masih kecil dengan membantu membuat (dalam arti mengajari) pekerjaan rumah.Satu hal yang juga perlu diperhatikan jangan sampai kelimpahan materi menggusur hubungan pribadi. Bekerja keras merupakan keharusan, tetapi orang tua perlu menghindari godaan materi.Orangtua yang bijaksana tahu bahwa relasi ortu - anak bukanlah soal material, tetapi kepuasan hidup. Itu bisa berarti sebuah pilihan. Misalnya saja, mana yang lebih penting, punya rumah besar di atas tanah 4.000 m2 dengan kolam renang, atau rumah yang membuat orang merasa betah tinggal di dalamnya?Atau mana yang lebih utama, punya dapur mewah atau kepastian setiap anggota keluarga bisa duduk bersama saat makan malam dan berbagi pengalaman?Riset terbaru mengungkapkan, ayah yang komunikatif membuat anak lebih mudah menyesuaikan diri, lebih sehat secara seksual, dengan perkembangan intelektual lebih baik. "Keterlibatan ayah dalam keluarga akan meningkatkan IQ anak sampai 6 - 7 poin," kata Berry Brazelton, seorang dokter anak. Di samping itu,anak akan lebih memiliki rasa humor, lebih percaya diri, dan punya motivasi belajar.Menurut Dr. Louis B. Silverstein dari Universitas New York, AS, ada hubungan langsung antara pertemuan ayah - anak dan tingginya tingkat agresivitas anak, serta tingkah laku yang cepat dewasa pada anak perempuan. (G.M. Kussardoyo Kusumo/Kumpulan Artikel Psikologi Anak 3)