Intisari-Online.com - Ketika Ikal, Lintang, dan Sahara mengikuti lomba cerdas cermat, para sahabat Laskar Pelangi lainnya serempak memotivasi. Dari kursi penonton, para Laskar bersorak meneriakkan kata semangat untuk sahabat mereka yang sedang berjuang. Di lain hal, saat Lintang terpaksa memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, para Laskar bersedih. Rasa empati begitu kental. Ya, begitulah seharusnya seorang sahabat seperti yang digambarkan dalam novel bestseller Laskar Pelangi.
Anak-anak bermain, berteman, kemudian bersahabat untuk menumbuhkan dan menunjukkan esksitensinya. Ketika dirinya merasa eksis, kepercayaan diri pun mulai terbangun sedikit demi sedikit. “Anak juga bisa melatih berkomunikasi dan kemampuan memecahkan masalah,” tutur Psikolog Syarif Ari Ahmadi, M. Psi. Terlihat banyak nilai positif yang bisa diperoleh anak dalam pergaulannya dengan sahabat.
Seperti itu pula lah yang dirasakan Rinda Aunillah Sirait, ibu satu anak yang kesehariannya bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Anaknya, Yasmin Khairina (7), tumbuh menjadi anak yang lebih percaya diri ketika sudah menemukan sahabat. Rinda menilai Yasmin seperti punya “modal” untuk lebih aktif di kelasnya. Yasmin pun jadi punya rasa toleransi yang lebih baik.
Bayangkan bila ia tidak punya sahabat dengan anak lain. Otomatis pelbagai keuntungan tadi tidak akan terlatih. Kita harus sadar bahwa interaksi dengan orang rumah tentu beda dengan ketika kita berinteraksi dengan orang di luar sana. Terlebih kalau di rumah dominannya orang dewasa. Yang mungkin terjadi adalah anak akan cenderung dituruti kemauannya. Dia jadi kurang bisa beradaptasi ketika bertemu anak lain, yang pada akhirnya membuatnya sulit berkompromi. Istilahnya, ia jadi “jago kandang”.
Dalam membina persahabatan pun, anak-anak ternyata mempertimbangkan manfaat yang bisa diperoleh ketika bersahabat. Hanya, tidak sekompleks orang dewasa. Semisal persahabatan bisa membantu eksistensinya. Dia jadi punya orang yang bisa dipercaya untuk menghabiskan waktu bersama. Bermula dari geng, mereka asyik berkumpul dan lama kelamaan menjadi sahabat. “Manfaat-manfaat seperti itu yang menentukan kedalaman persahabatan pada anak,” kata Ari.
Untuk mengubah pertemanan menjadi sahabat itu pun dipengaruhi pengalaman positif. Semakin banyak pengalaman positif, contohnya minat yang sama atau mau saling membantu, bisa menggantikan peran “teman”menjadi “sahabat”. Namun, lagi-lagi proses perubahan itu tergantung pada anak, dengan sifat yang dibawanya. Anak introver, dia lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Namun, menurut Ari, bukan tidak mungkin ia berinteraksi dengan orang lain. Makanya dia harus lebih intens diajak bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain.
“Beda lagi dengan anak ekstrover yang memang lebih senang menghabiskan waktu dengan banyak orang,” jelas Ari. Ia akan lebih mudah berbaur dengan orang lain, yang baru dikenal sekalipun. Tapi bukan berarti ia tidak butuh waktu untuk sendiri. Secara wajar, menurut Ari, sifat memang akan berpengaruh terhadap persahabatan. Konflik bisa saja muncul dan malah menghambat anak untuk menjalin persahabatan. Sebagai contoh, ada sifat anak yang sulit mengalah dan beradaptasi. Tentu kondisi ini kurang baik karena anak jadi sulit mengatasai masalah dan terus mengutamakan kemauan dirinya.