Intisari-Online.com - Supaya bisa diterima lingkungan dan dianggap eksis, orang rela mengubah gaya hidupnya. Gawai (gadget) termutakhir, mobil baru, hingga pakaian bermerek pun mesti dimiliki walau dengan jalan berutang. Repotnya lagi, hal seperti itu kudu dijalani agar karier mulus atau tercapainya sebuah target.
Situasi serupa itulah yang kini dihadapi seorang Magdalena. Dia belum genap dua tahun bekerja di ibu kota. Namun rupanya itu sudah cukup bagi karyawan di sebuah stasiun televisi swasta ini untuk merasakan tekanan sosial hidup di kota besar. Tekanan kerja tinggi dengan jadwal yang padat membuat dia tak punya cukup waktu untuk bersantai.
Karakter orang yang umumnya cenderung individualis juga membuat dia kesulitan menjalin interaksi. Sementara berdiam di kos malah membuat suasana hatinya tambah galau. Untuk mengusir stress, nongkrong di kafe dan bergawai ria menjadi pilihan dara yang dibesarkan di Tasikmalaya ini. “Kalau nongkrong di kafe, asalkan ada uang, membuat perasaan saya lebih rileks,” ungkap dia.
Hanya saja, Magdalena cukup sadar untuk tidak larut ikut arus gaya hidup kota besar. Karena itu, dia berusaha untuk tak berganti-ganti gawai, betapa pun hal ini bakal membuatnya disebut ketinggalan zaman. Kalau terus menuruti tuntutan gaya hidup modern tak akan ada habisnya, begitu pikir perempuan bernama lengkap Magdalena Windiana Siahaan ini. Walau begitu, dia beranggapan jika bisa check in di sebuah tempat yang dianggap keren di Facebook membuat dirinya bangga.
Tekanan yang dialami Magdalena rupanya menjadi hal jamak dalam hidup keseharian di kota metropolis macam Jakarta. Kebutuhan atas kemudahan akses informasi, misalnya, membuat seseorang seringkali jor-joran mengkonsumsi bermacam produk gawai. Ada juga kebutuhan untuk menyesuaikan dengan aneka gaya hidup baru agar diterima di lingkungan pergaulan. Kebutuhan selanjutnya sudah bisa ditebak: mobil pribadi, tampilan busana yang ngetren, atau tinggal di lokasi hunian elite.
Sebagai contoh, jika ingin menjadi bagian dari sosialita ibu kota ada persyaratan tertentu. Di antaranya, wajib menenteng tas kulit asli berharga jutaan rupiah dan mengenakan busana dari butik ternama. Di kalangan pekerja kantoran tuntutannya lain lagi. Bisa berupa adanya kewajiban untuk mengenakan produk gawai terbaru. Tujuannya, tak melulu untuk tampil gaya memang, tapi bisa untuk tujuan produktif, seperti untuk kebutuhan saat mengikuti rapat atau agar mudah mengakses informasi.
Terbukti, penjualan tablet, model gawai paling mutakhir, meningkat hampir 200 persen dalam satu tahun terakhir (Apkomindo, 2012). Seakan tak mau kalah, jumlah penjualan mobil di Indonesia juga mencapai lebih dari 1,1 juta unit (Gaikindo, 2012). Jumlah itu merupakan angka tertinggi dalam sejarah penjualan mobil di republik ini. Begitu pula dengan hunian mewah (kondominium), dan fashion, yang kian digemari masyarakat kelas menengah perkotaan. Kafe-kafe ekslusif pun menjamur.
Dompet bolong
Namun, gaya hidup yang membutuhkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit itu belum tentu mencerminkan kesejahteraan masyarakat menengah perkotaan yang tinggi pula. Sebagai ilustrasi, mari kita simak pengakuan para ahli perencana keuangan. Pengalaman mereka bersentuhan tata kelola isi dompet kliennya bisa jadi memberi gambaran yang berbeda.
Prita H. Ghozie, ahli perencana keuangan independen dari ZAP Finance, misalnya, sering mendapati hal mengenaskan setiap kali mendengar pengaduan kliennya. Mereka kerap mengeluh karena gaji bulanannya habis di tengah jalan. Prita bahkan berani mengatakan bahwa hal ini bukan hal baru bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. “Jadi, bagaimana mau menabung atau berinvestasi, untuk hidup sehari-hari saja mungkin terpaksa berutang atau berhemat?”
Hal yang sama juga dialami Farah Dini Novita. Ahli perencana keuangan pengasuh laman finansial fin-chick-up.com itu mengatakan kebanyakan kliennya mempunyai jumlah penghasilan yang sama dengan pengeluarannya. Memang ada juga yang bersisa dari pengeluaran bulanannya, tapi tidak terlalu banyak untuk bisa ditabung atau diinvestasikan.
Usut punya usut, setelah arus kas masuk dan keluarnya “dibedah” banyak pengeluaran-pengeluaran yang orientasinya untuk pemenuhan gaya hidup belaka. Mereka biasanya mempunyai lebih dari satu ponsel dan mengikuti tren busana terbaru. Rata-rata mereka menghabiskan uang paling banyak untuk kebutuhan hiburan. Objek hiburan yang mereka pilih biasanya nongkrong di kafe, hang out di mal, berakhir pekan bersama keluarga, dan dining out.
Hampir 90 persen klien Dini menghabiskan uangnya untuk mengkonsumsi ikon-ikon gaya hidup modern. Hanya sebagian kecil saja yang mengalokasikan uangnya untuk pemenuhan investasi masa depan. Namun, biasanya mereka kaget ketika menyadari satu hal: asetnya tidak bertambah atau malah sama sekali tidak memilikinya. Betapa pun mereka sudah bekerja bertahun-tahun. “Di saat seperti itu, sebenarnya mereka memiliki pilihan, yaitu mengurangi pengeluaran yang tidak penting atau atau mencari tambahan penghasilan,” papar Dini.
Dini dan Prita menengarai hal tersebut sebagai dampak gaya hidup masa kini yang memanjakan masyarakatnya dengan berbagai akses informasi dan fasilitas hiburan. Mereka tidak dapat memungkiri bahwa nge-mal ataupun nongkrong di kafe sudah menjadi bagian hidup keseharian. Bagi mereka, susah sekali untuk tidak mengikuti perkembangan gaya hidup sekarang.
Prestise is number one
Dari segi sosial budaya, memang terjadi banyak pergeseran di masyarakat. Zaman dulu apabila ingin bersilahturrahmi, kita tinggal pergi ke rumah orang yang ingin dituju. Sekarang tidak demikian. Kebanyakan orang mengadakan pertemuan selalu di mal, restoran atau kafe. Apabila sudah memiliki anak, mereka biasa membawanya ke untuk ke arena indoor playground atau games centre yang biasanya disediakan di mall atau pusat-pusat perbelanjaan.
Tidak seperti zaman dulu, sekarang memang semakin sulit menemukan ruang terbuka untuk tempat bermain anak-anak. Untuk menyekolahkan anak pun kini para orangtua mempunyai banyak pilihan. Banyak orangtua yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah ternama nan mahal.
Dari sini tampak bahwa faktor prestiselah pemicu utama mengapa penghasilan sebesar apa pun akan habis begitu saja. “Zaman sekarang semakin sulit membedakan antara mana yang menjadi kebutuhan dan keinginan sesaat,” ujar Dini, perencana keuangan independen jebolan University of Notingham Malaysia di bidang International Business Management ini.
Dari pengalaman Dini, kliennya tidak mempunyai anggaran khusus buat gawai dan pakaian. Karena sifatnya kebutuhan tahunan, mereka hanya membeli gawai atau baju baru jika mendapat uang lebih atau bonus. Namun, pengeluaran untuk pemenuhan gaya hidup lain mencapai hampir 30 persen dari penghasilan rata-rata. Kecenderungan yang terjadi malah semakin besar penghasilan semakin besar pula pengeluarannya, karena gengsinya pun semakin bertambah.
Sebagai mana ditegaskan Celia Lury, sosiolog dari University of London, Inggris, dalam bukunya Consumer Culture (1996), kegemaran mengkonsumsi tren gaya hidup modern ini bisa dipahami sebagai perjuangan memperoleh posisi atau status sosial tertentu. Karena itulah mereka tidak ingin ketinggalan zaman mengikuti berbagai tren gaya hidup baru.
Pada setiap individu, praktik gaya hidup konsumtif ini tentunya bukanlah hal yang muncul begitu saja. Tapi karena suatu dorongan faktor tertentu. Lingkungan pergaulan jelas sangat mempengaruhi pola konsumsi seseorang, apa pun bentuk dan isinya. Sebab, itulah yang menjadi tolok bagi perilaku mereka sebagai bagian dari komunitasnya di masyarakat. Tidak mau dianggap remeh dan merasa diterima teman adalah salah satu faktor yang mendorong mereka melakukan praktik konsumsi tertentu.
Di sini, bujuk rayu media visual dan iklan memainkan peranan penting. Budayawan Mudji Sutrisno, SJ, menyatakan, alam bawah sadar individu dimanipulasi oleh iklan agar hasratnya terdorong untuk terus mengkonsumsi. Kredo yang berlaku adalah, “I consume therefore I exist”, saya mengkonsumsi maka saya ada. Generasi yang terbangun dari latar belakang kebudayaan semacam ini adalah “generasi pelahap”.
Gaya hidup yang dikejar kelas menengah perkotaan sekarang disimbolkan dengan 3C (car, condominium, credit card). Untuk mencapainya, jika penghasilan bulanan tidak mencukupi, korupsi menjadi jalan untuk memenuhi gaya hidup yang diinginkannya itu. Sementara bagi kalangan rakyat kecil, jika tuntutan gaya hidup ini tidak terpenuhi bisa menyebabkan frustasi yang tinggi. Sebab, tuntutan di luar menjadi mimpi yang tak terlaksana. Berbiaknya perilaku kriminalitas pun sangat dimungkinkan karena frustasi macam ini. Lebih sial lagi, memicu meningkatnya aksi bunuh diri.
Nongkrong itu bagus, asal...
Di sisi lain, budaya nongkrong di kafe semakin banyak digemari untuk mengusir kepenatan. Banyak orang memerlukan tempat untuk berelaksasi setelah seharian bekerja. “Sisi positifnya, nongkrong di kafe juga sekaligus menjadi momen untuk bersosialisasi,” kata Mudji. Maka muncullah beberapa komunitas yang bermula dari kafe. Tapi apa sebenarnya yang mereka cari?
Berbeda dengan di negara maju seperti Jepang dan Prancis budaya kafe sudah ada sejak lama. Sepulang dari kantor kelas pekerja di sana biasa mampir ke kafe untuk bersosialisasi. Di Prancis bahkan orang berdiskusi tentang berbagai persoalan. Diskusi filsafat pun seringkali dilakukan di kafe. “Di Indonesia nongkrong di kafe hanya berhenti sebagai mode belaka. Tidak ada pencarian yang memungkinkan mereka mampu bersikap krtis, dan tidak mudah ikut arus,” ungkap Mudji dengan nada sesal.
Akar persoalannya, lanjut Mudji, terletak pada penafsiran yang keliru tentang gaya hidup modern. Sebenarnya kebudayaan modern ditopang oleh semangat yang gandrung akan “kemajuan”. Hal ini ditandai dengan karakter mentalitas individu yang menghargai nilai-nilai profesionalisme, kemandirian, dan rasional (serta kritis). Di Eropa nilai profesionalisme itu diwujudkan dengan keringat atau kerja keras demi pencapaian tertentu. Sementara yang terjadi di sini orang cenderung melompat atau mengambil jalan pintas. Kalau bukan berarti kerja keras, gaya hidup modern itu hanya aksesoris saja.
Pendidikan seharusnya mendorong individu agar bisa memilih kebutuhan berdasarkan nilai fungsional. “Kalau sekarang kan semuanya diukur berdasar nilai tukar, semua dihargai dengan uang,” kata Romo Mudji.
Hhhmmm...begitu ya? (Intisari)